Sabtu, 02 Oktober 2010

Pemikiran Politik Yunani Kuno

Ketika membahas tentang sebuah pemikiran, kita tidak bisa lepas dari konteks sosio historis atau keadaan lingkungan yang terjadi ketika pemikiran tersebut muncul, karena pada dasarnya sebuah pemikiran pasti dipengaruhi oleh lingkungan disekitar pemikir. Dalam konteks pemikiran Yunani kuno, tentunya kita akan mengacu pada latar belakang keadaan yang terjadi ketika itu. Ada dua negara kota (city state) di Yunani yang menjadi perhatian dalam kajian tentang pemikiran Yunani kuno. Kedua negara kota itu adalah Athena dan Sparta.

Orang-orang Yunani kuno memang menaruh perhatian pada permasalahan kehidupan, termasuk masalah sosial dan politik. Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi: Pertama, adanya kebebasan untuk berbicara. Jadi yang ditekankan ketika itu adalah argumentasi, bukan senjata. Adu argumentasi seperti ini pada akhirnya memancing nalar untuk berpikir kritis dan akhirnya menghasilkan banyak sekali pemikiran. Kedua, negara-negara di Yunani kuno sering berganti-ganti sistem pemerintahan, dari mulai aristrokasi, tirani, hingga demokrasi. Pergantian yang sering ini juga memancing nalar mereka untuk berpikir. Ketiga, ketika itu adanya persamaan tentang pengertian masyarakat dan negara. Karena wilayahnya yang kecil, jadi tidak ada pemisahan antara masyarakat dengan negara. Masyarakat sama dengan negara, begitupun sebaliknya. Masalah hidup dan masalah pergaulan bersama merupakan masalah negara. Keempat, keadaan dan cara hidup orang Yunani kuno ketika itu memang mengharuskan mereka untuk selalu memperhatikan dan mendiskusikan masalah-masalah kehidupan.

Athena dan Kematian Socrates

                Seperti telah disinggug sebelumnya, Athena merupakan salah satu negara kota di Yunani kuno yang memegang peranan penting dalam pemikiran politik barat. Sistem yang dikembangkan Athena merupakan cikal bakal lahirnya demokrasi, dimana setiap orang bebas untuk mengemukakan pendapatnya, dan setiap orang bebas berargumen, terutama dimasa pemerintahan Priceles. Meskipun begitu di Athena masih terdapat perbedaan kelas, yaitu: warga negara, pedagang, dan budak. Ketiga kelas ini telah memiliki domain nya masing-masing, dan hanya kelompok warga negara lah yang diberi kebebasan untuk berbicara, berargumen, dan menghasilkan buah pemikiran.

                 Dimasa pemerintahan Priceles, Athena berkembang menjadi sebuah negara yang sangat demokratis. Prinsip yang dijalankan ketika itu adalah demokrasi langsung, dan setiap warga negara bebas berbicara, tanpa ada perbedaan perlakuan. Semua warga negara dipandang sama dimata hukum dan politik, juga tidak diperbolehkan adanya diskriminasi dalam proses pengambilan kebijakan negara. Sistem seperti inilah yang kemudian menjadi prototype demokrasi dimasa sekarang. Hubungan antar warga negara dimasa inipun sangat erat, layaknya sebuah keluarga.

                Namun, Athena memiliki kekurangan, yaitu tidak memiliki kekuatan perang yang memadai. Akibatnya, ketika perang Peloponnesia, negara Athena berhasil dikalahkan oleh Sparta yang kekuatan militernya sangat kuat. Kekuatan militer Sparta salah satunya dipengaruhi oleh faktor sistem pemerintahannya yang aristokratis-otoriter dan adanya sistem wajib militer bagi semua penduduknya, tidak terkecuali wanita dan anak-anak.

                Setelah kekalahan tersebut, Athena memulai kehidupannya yang baru dengan munculnya kaum Sofis, yaitu sekelompok intelektual yang memikirkan masalah-masalah filosofis dalam kehidupan. Kaum sofis diyakini sebagai gerakan perintis pendidikan dimasa Yunani kuno. Biarpun begitu, lama kelamaan mulai timbul sikap pragmatisme dalam kelompok Sofis. Mereka menarik uang dari ajaran yang diberikannya kepada masyarakat. Bahkan lambat laun, yang dipentingkan justru sisi uangnya daripada sisi kebenaran pengetahuan yang diberikan. Inilah yang menjadi sasaran kritik bagi Socrates. Socrates ini sendiri merupakan seorang filsuf yang kritis, dia sering disebut sebagai bapak etika, karena selalu bertanya “apa itu benar ?”, “apa itu baik ?”, dsb. Pencarian kebenaran Socrates dengan cara dialog Socrates, belakangan disebut metode skeptisisme, yang intinya adalah bertanya dan bertanya.

Socrates mengkritik kaum Sofis karena dianggap sangat pragmatis. Selain itu, Socrates tidak setuju pendapat Sofis yang mengatakan bahwa salah dan benar tergantung penilaian manusia, dan kepada kaum Sofis tidak bisa dikenakan kriteria benar dan salah, segala perkataan Sofis pasti benar. Socrates tidak sepaham dengan ini semua. Karena dianggap mengancam eksistensi kaum Sofis, maka Socrates dianggap sesat oleh mereka dan akhirnya Socrates pun dihukum mati.

Plato dan Pemikirannya

                Plato merupakan murid setia dari Socrates. Kematian gurunya ditengah iklim demokrasi yang sedang berkembang di Athena, menimbulkan kekecewaan Plato terhadap sistem demokrasi. Menurutnya, demokrasi hanya akan membawa hal-hal buruk, salah satunya adalah kematian gurunya. Oleh karena itu, dalam pemikirannya, ia merupakan penentang demokrasi dan anti terhadap individualisme. Karir intelektualnya dimulai ketika ia membuat sekolah di Athena yang bernama Akademi, dan dari sekolah itulah ia membuat sebuah buku yang sangat terkenal, yaitu Politeia (Republik).

                Tokoh ini sering dibilang idealis-utopis, karena pemikiran-pemikirannya terlalu ideal, normatif, berimajinasi tinggi. Menurutnya, negara ideal adalah negara yang: (1) mementingkan kebajikan. Baginya kebajikan adalah pengetahuan, dan cara untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui pendidikan. Itulah alasannya mengapa Plato mendirikan Akademi. Menurutnya, seorang pemimpin haruslah memiliki kebajikan untuk bisa membentuk sebuah negara yang baik. Oleh karena itu, syarat utama bagi seorang penguasa menurut Plato adalah ia harus memiliki pengetahuan yang luas, dan itu hanya ada pada diri seorang filsuf. Konsep ini dikenal dengan istilah The Philosopher King. Dalam bukunya Politeia, Plato mengibaratkan seorang penguasa seperti dokter yang harus mempu mendeteksi penyakit masyarakat, mendiagnosanya, dan akhirnya mengobati penyakit tersebut. (2) Memastikan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan mengawasi proses penukaran timbale balik antar orang. Plato beranggapan, adanya negara karena adanya hubungan timbal baalik dan rasa saling membutuhkan antar sesama. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena itulah hubungan timbal balik menjadi penting sebagai sarana pemenuhan kebutuhan, dan negara harus memastikan ini berjalan dengan baik. (3) Larangan atas hak pemilikan pribadi dalam bentuk harta dan keluarga. Plato pada akhirnya mengusung ide kolektivisme atau kepemilikan bersama. Menurutnya, kepemilikan pribadi hanya akan menyebabkan kesenjangan, kecemburuan, yang pada akhirnya menyebabkan kompetisi tidak sehat. Karena itu, ia beranggapan bahwa harta dan keluarga, termasuk istri dan anak-anak merupakan milik bersama. (4) Tidak mementingkan individualisme. Baginya, individualisme hanya akan membuat manusia memikirkan dirinya sendiri tanpa mau memikirkan orang lain. Sikap ini pada akhirnya menumbuhkan egoism, dan pada akhirnya akan tercipta kesenjangan.

                Dalam Politeia, Plato tidak berbicara tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berargumen. Agaknya ini bertentangan dengan ide dia sendiri bahwa pemimpin haruslah orang pintar, cerdas, dan berpengetahuan luas. Mengapa demikian ? Karena kepintaran hanya bisa didapat ketika nalar bisa bekerja dengan sangat baik, dan nalar hanya bisa dikembangkan melalui argumen, kritik, pendapat, dan pemikiran. Satu hal lagi yang perlu dicermati, menurutnya, jika pemimpin sudah tidak mampu mewujudkan negara yang ideal, maka pemimpin bisa diganti, namun ia tidak berpikir tentang bagaimana caranya.

                Jika dicermati, pemikiran Plato merupakan antitesa dari keadaan Athena sebelum keruntuhannya. Sistem demokrasi, individualisme, kebebasan berpendapat yang diusung Athena ketika itu nyatanya hancur lebur ketika Peloponnesia, dan sistem yang aristokratis dan ototriterlah yang lebih unggul (Sparta). Kehancuran Athena itu, negara yang sangat dicintainya, dan juga kematian gurunya ditengah iklim demokrasi, membuatnya berpikir demikian. Banyak ilmuwan yang beranggapan bahwa pemikiran Platonik inilah yang kemudian menjadi inspirator Marx dan Engel untuk mengembangkan ide-ide komunisme.

Aristoteles dan Pemikirannya

                Aristoteles merupakan murid dari Plato di Akademi. Walaupun begitu, sifat pemikirannya berbeda dengan gurunya yang idealis-utopis, dan berdasarkan logika deduktif. Aristoteles merupakan seorang filsuf yang realis-empiris, dan mendasarkan pemikirannya berdaarkan fakta, bukan hasil kontemplasi yang imajinatif, logika yang digunakannya pun adalah induktif.

                Aristoteles juga menulis sebuah buku yang sangat fenomenal yang berjudul Politics. Dalam buku tersebut, Aristoteles menuliskan gagasannya tentang asal mula negara yang menurutnya berawal dari individu. Individu-individu ini tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan individu lainnya agar tetap hidup, maka secara fitrah, individu tadi akan bergantung kepada individu lainnya, dan membentuk sebuah kelompok yang berdasarkan keturunan, atau yang disebut keluarga. Keluarga inipun pada hakikatnya juga membutuhkan keluarga-keluarga yang lain untuk bisa tetap bertahan, maka kumpulan dari keluarga-keluarga tersebut akan membentuk sebuah masyarakat/negara. Perlu dipahami bahwa Aristoteles tidak membedakan antara masyarakat dan negara, sama halnya dengan keadaan di Yunani Kuno ketika itu. Ia menganggap bahwa, negara merupakan bentuk akhir dari gabungan unsur-unsur tadi, sehingga negara merupakan bentuk yang paling sempurna dan bia mewujudkan kesempurnaan hidup.

                Menurutnya, manusia adalah zoon politicon, atau makhluk politik yang berarti secara fitrah manusia membutuhkan politik, membutuhkan negara untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnannya. Disinilah menurut Aristoteles, negara merupakan hal yang perlu ada dalam kehidupan. Negara menurutnya memiliki tujuan: (1) mensejahterakan seluruh warganya, bukan individu tertentu, (2) agar manusia mencapai kebahagiaan, dan (3) memanusiakan manusia, atau dengan kata lain memperlakukan manusia layaknya manusia.

                Berbeda dengan gurunya yang mengusung ide kolektifisme, Aristoteles justru memperbolehkan adanya hak milik individu. Ada dua alasan mengapa Aristoteles memperbolehkan dan bahkan menganggap penting kepemilikan individu, yaitu: (1) hak kepemilikan individu akan membuat orang memiliki lebih banyak waktu luang untuk berpikir dan mngurus masalah negara. Menurutnya, milik adalah alat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga tersedia banyak waktu luang untuk berpikir tentang urusan masyarakat. (2) Kepemilikan akan mendatangkan kebahagiaan, karena kebahagiaan hanya bisa diperoleh jika seseorang memiliki harta dan kekayaan. Jalan pikir seperti ini agaknya menunjukkan bahwa Aristoteles merupakan pemikir yang materialis.

                Mengenai konsep ukuran negara, Aristoteles beranggapan bahwa negara yang baik tidak berukuran besar, namun juga tidak terlalu kecil. Menurutnya, negara yang terlalu besar akan sulit untuk dijaga, dan negara yang kecil akan mudah untuk dikuasai dan ditaklukan negara lain. Aristoteles lebih sepakat dengan konsep city state, atau negara kota dalam hal luas wilayahnya. Pemikirannya ini berbeda dengan muridnya, yaitu Iskandar Zulkarnaen atau Iskandar Agung yang menginginkan sebuah imperium besar dengan menyapu bersih semua negara kota yang ada. Pada akhirnya nanti, perbedaan inilah yang membuat dirinya harus pergi dari Athena dan akhirnya meninggal di Euoba (daerah sebelah timur Yunani).

1 komentar: