Rabu, 27 Juli 2011

Demokrasi Adalah "The End of History ?": Sebuah Pengantar

Pecahnya Uni Soviet di tahun 1991 membawa dampak bukan hanya secara politis, tapi juga secara ideologis, dimana keruntuhan tersebut merupakan sebuah penanda “kalahnya” ideologi komunis yang selama berabd-abad menjadi rival sejati ideologi liberal Barat. Sejak peristiwa tersebut, sontak ideologi liberal begitu menghegemoni dengan dua pilar utamanya yaitu kapitalisme dan demokrasi. Bisa dikatakan pasca kalahnya komunis dari pertarungan ideologi dunia, para sarjana liberalis Barat “sibuk” menghegemonikan ajaran-ajarannya, seolah apa yang mereka bawa adalah sesuatu yang paling benar. Mereka memberikan stigma negatif terhadap ideologi-ideologi selain liberal, dan menganggap bahwa setiap negara yang tidak mengadopsi demokrasi adalah negara yang buruk. Pun dengan ekonomi, dimana semua negara di dunia dipaksa untuk tunduk pada suatu sistem kapitalisme global dengan IMF dan WB sebagai kendaraan utamanya. Celakanya, hampir semua negara di dunia pun “sepakat” akan hal tersebut dan seolah tidak ada upaya untuk melawan hegemoni Barat tersebut.

Dengan keadaan yang demikian, tidak salah kiranya jika seorang Francis Fukuyama menulis “The End of History”. Dari tulisannya terlihat jelas bahwa memang mau tidak mau, ideologi Barat sudah seolah-olah menjadi akhir dari segala pertarungan ideologis, yang ini juga berarti bahwa ideologi Baratlah yang terbaik. Atau dengan kata lain, demokrasi dan kapitalismelah yang terbaik. Di akhir tulisannya memang Fukuyama sebetulnya tidak merasa senang jika memang ide Barat adalah akhir dari suatu runtutan sejarah panjang yang terjadi. Memang bisa dikatakan bahwa untuk melawan hegemoni Barat tentu dibutuhkan counter hegemony yang sangat kuat dan bisa diterima oleh semua umat manusia, dan saya fikir itu adalah tugas kita semua sebagai insan-insan kritis untuk selalu melakukan dialektika terhadap apa-apa yang sudah mengehegemoni. Tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini, dan itu berarti apa-apa yang telah menghegemoni sebetulnya bisa didekonstruksi bahkan bisa dihancurkan.

Dalam hal demokrasi misalnya, kita pun agaknya harus mulai berani untuk mendekonstruksi dan mengkritisi ide-ide demokrasi. Sebagaimana telah dikatakan di awal, demokrasi adalah konsep hegemonik Barat yang merupakan salah satu pilar utama ideologi liberalisme. Karena itu, Barat bisa mengklaim bahwa demokrasi ala Baratlah yang paling baik dan paling benar, selain itu tidak. Untuk itu dalam tulisan singkat ini, saya mencoba untuk memancing nalar kita untuk berpikir dan berdialektika untuk menjawab pertanyaan apakah pantas demokrasi menjadi sebuah “the end of history” ?

Kamis, 30 Juni 2011

Modernisasi vs Ketergantungan

Dewasa ini, istilah "modernisasi" tentu tidak asing lagi di telinga kita. Dalam anggapan kita sehari-sehari, modernisasi dimaknai sebagai kemajuan, progresifitas, dsb. Menjadi modern, berarti menjadi lebih maju, begitu kira-kira yang terdapat dalam benak kita tentang modern. Seseorang yang dianggap tidak modern, sering dikucilkan, dianggap kuno, kampungan, dan kolot. Tidak salah memang, namun disinilah justru letak sikap kritis kita diperlukan. Satu hal yang perlu menjadi pertanyaan serius, benarkah modernisasi selalu identik dengan kemajuan? ataukah ternyata justru menimbulkan ketergantungan ?

Modernisasi: Teori Rostow

Istilah modernisasi berawal dari serangkaian teori yang dikembangkan di Barat tentang pengalaman mereka menjadi negara maju. Salah satu teori yang termasuk dalam kubu teori modernisasi adalah teori “lima tahap pembangunan” yang menjadi salah satu masterpiece bagi pencetusnya: W.W. Rostow. Dalam bukunya berjudul “The Stages of Economic Growth”, Rostow mengemukakan bahwa pembangunan terdiri dari beberapa tahapan yang berawal dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. (Rostow, 1966; Budiman, 2000)

Tahap yang pertama adalah kondisi awal sebuah masyarakat yang ia sebut sebagai “masyarakat tradisional”. Dalam tahap ini, masyarakat dinilai belum rasional, sehingga mereka tidak bisa melakukan produksi secara besar-besaran. Mereka hanya melakukan produksi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Selanjutnya, ada campur tangan masyarakat lain yang lebih maju untuk “mengkondisikan” masyarakat tradisional agar siap melakukan perubahan ke arah modern. Tahap ini Rostow namakan sebagai “prakondisi lepas landas”. Dalam tahap ini, masyarakat tidak hanya berpikir untuk memnuhi kebutuhan sehari-hari, namun sudah mulai memikirkan tentang tabungan dan investasi, sehingga produksi bisa semakin meningkat. Tahap selanjutnya yaitu “lepas landas” ditandai dengan semakin meningkatnya investasi dan mulai munculnya industri-industri baru, sehingga produktifitas bisa semakin tinggi. Industri-industri tersebut akan terus bertambah dan berkembang seiring dengan tingkat investasi yang semakin tinggi. Karena itu, mulai mucnul surplus produksi, sehingga suatu negara sudah mulai melakukan ekspor dalam kerangka perekonomian global. Inilah kondisi tahap keempat, yaitu “menuju kedewasaan”. Dalam tahap ini, produksi tidak hanya diarahkan untuk barang-barang konsumsi saja, namun sudah mulai memproduksi barang-barang modal. Semakin berkembangnya industri membuat pendapatan masyarakat akan semakin tinggi, sehingga komsumsi tidak hanya diarahkan untuk barang kebutuhan saja. Hal inilah yang kemudian menjadi penanda bahwa sebuah masyarakat telah masuk ke dalam tahap “konsumsi masal yang tinggi”. Dalam tahap ini, akan diperoleh surplus ekonomi yang sangat besar karena tingginya produktifitas, dan surplus tersebut mulai diarahkan untuk kesejahteraan sosial. Tahap inilah yang disebut sebagai masyarakat modern.

Dari lima tahap yang dikemukakan Rostow di atas, kita akan dengan cepat menangkap kesan bahwa pembangunan untuk mencapai masyarakat modern seolah berada pada satu garis lurus dengan tahap-tahap yang ajeg. Bermula dari masyarakat tradisional, menuju prakondisi lepas landas, kemudian mengalami lepas landas, dan bergerak menuju kedewasaan. Tahap akhir dari proses tersebut adalah terciptanya masyarakat modern yang ditandai dengan konsumsi masal yang sangat tinggi.

Teori Rostow di atas agaknya menggambarkan bagaimana asumsi-asumsi dasar teori modernisasi. Modernisasi memang melihat pembangunan sebagai sesuatu yang unilinear. Tidak ada “jalan lain” untuk bisa melakukan pembangunan selain mengikuti “jalan linear” tersebut. Jika dalam prakteknya ternyata pembangunan tidak berhasil, maka—menurut teori modernisasi—yang menjadi masalah utama adalah faktor internal masyarakat itu sendiri, yang masih tradisional, kolot, tidak mau menerima perubahan, dan sebagainya. Hal tersebut akhirnya memunculkan kubu lainnya dalam teori pembangunan sebagai kritik terhadap teori modernisasi, yaitu teori ketergantungan/dependensi.

Teori Ketergantungan dan Imperialisme


Teori ketergantungan lahir sebagai reaksi atas teori modernisasi yang ternyata dinilai gagal untuk mendatangkan kemajuan bagi negara-negara miskin. Teori ini awalnya muncul pada tahun 1950 dari para ahli di Amerika Latin. Mereka melihat ada suatu gejala bahwa pembangunan ekonomi akibat industrialisasi di negara-negara maju ternyata tidak berefek positif terhadap negara-negara miskin. Justru sebaliknya, aktivitas ekonomi di negara maju justru menimbulkan masalah bagi negara miskin. Masalah tersebutlah yang dikatakan sebagai ketergantungan negara miskin terhadap negara maju. Singkatnya, pembangunan di negara miskin tidak bisa berjalan karena memang mereka “bergantung” pada negara-negara maju yang ternyata justru mengeksploitasi dan merugikan mereka.

Sama seperti teori modernisasi, ada beberapa teori juga yang bisa dikatakan sebagai kubu teori ketergantungan. Salah satu studi yang cukup terkenal dalam kubu teori ketergantungan disampaikan oleh Andre Gunder Frank. Menurut Frank, hubungan ketergatungan antara negara miskin dengan negara maju dapat digambarkan seperti hubungan “negara satelit dengan negara metropolis” (Frank 1972, 3). Maksudnya, negara miskin yang diibaratkan sebagai daerah satelit menyediakan bahan-bahan mentah yang harganya murah untuk kemudian diekspor kepada negara maju yang diibaratkan sebagai metropolis. Selanjutnya, dengan suplai bahan baku dari negara satelit, negara metropolis kemudian mengolahnya menjadi bahan jadi dan siap konsumsi. Barang jadi ini kemudian diekspor oleh negara metropolis kepada negara-negara satelit dengan harga yang tentunya jauh lebih mahal daripada bahan baku yang diekspor ke negara metropolis. Hal inilah yang memunculkan surplus ekonomi yang tidak berimbang antara negara satelit dan negara metropolis, sehingga terjadi ketimpangan yang tajam diantara keduanya. Denagn kerangka ini, maka bisa dikatakan bahwa keterbelakangan merupakan buah dari interaksi negara-negara di dunia dalam kerangka kapitalisme global.

Lebih lanjut, Frank mengatakan bahwa karena adanya surplus yang tidak berimbang tersebut, maka untuk bisa maju dan berkembang, negara-negara miskin tidak perlu mengikuti arah pembangunan negara maju, karena masing-masing memiliki latar belakang sejarah, struktur dan sumber daya ekonomi yang berbeda. Justru Frank menilai bahwa negara satelit akan bisa mengalami pembangunan ekonomi apabila memiliki intensitas hubungan dan keterkaitan yang rendah dengan negara metropolis. Secara menarik, ia pun kemudian mengatakan bahwa negara yang paling feodal dan terbelakang saat ini adalah negara yang memiliki derajat hubungan dan keterikatan yang tinggi dengan negara metropolis (Frank 1972, 15).

Dengan demikian bisa dilihat bahwa teori ketergantungan—dalam hal ini diwakili oleh Gunder Frank, sangat jauh berbeda dengan teori modernisasi—yang diwakili oleh Rostow. Perbedaan pertama, teori modernisasi melihat bahwa pembangunan dilakukan secara berjenjang dalam sebuah garis yang linear. Artinya, jika negara miskin ingin maju, maka ikutilah “jejak” negara-negara maju. Hal ini jauh berbeda dengan pendapat teori ketergantungan yang mengatakan bahwa untuk mengalami pembangunan ekonomi tidak perlu mengikuti “jejak” negara maju karena faktor sosio historis yang berbeda dan sumber daya yang juga berbeda. Hal kedua yang menjadi poin pembeda adalah dalam teori modernisasi penyebab gagalnya pembangunan berasal dari masyarakat itu sendiri yang masih kolot, tidak mau menerima perubahan, irasional, dll. Lain halnya dengan teori ketergantungan yang melihat bahwa gagalnya pembangunan justru disebabkan oleh hubungan yang tidak sehat antara negara miskin dengan negara maju dalam kerangka kapitalisme global. Maksudnya, dengan kerangka kapitalisme, negara maju “mengekspolitasi” negara miskin, sehingga negara tersebut sulit untuk melakukan pembangunan ekonomi.

Dengan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa modernisasi ternyata tidak selalu mendatangkan kemajuan bagi negara-negara yang menganutnya, khususnya negara berkembang-yang sering disebut sebagai "negara dunia ketiga". Modernisasi justru telah menimbulkan ketergantungan yang akut dari negara berkembang terhadap negara yang (sudah lebih dahulu) maju. Jika ketergantungan ini telah terjadi dalam waktu yang lama, maka hampir mustahil negara berkembang bisa mandiri. Kenyataan itulah yang kiranya terjadi di dunia saat ini, dimana negara-negara berkembang telah mengalami "penyakit ketergantungan akut", sehingga sulit untuk bisa maju.



Daftar Pustaka

Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Ferrao, Vincent. Dependency Theory: An Introduction. Downloaded from: http://www. ccsenet.org/journal/index.php

Frank, Andre Gunder. 1969. Capitalism and Underdevelopment in Latin America. New York: Modern Reader Paperbacks

Rostow, WW. 1966. The Stages of Economic Growth, A non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press

Kesempurnaan Islam Dalam Politik

Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya sangat komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, hal yang menjadi pertanyaan selama ini adalah, bagaimana konsep Islam tentang negara ? Jika memang Islam merupakan agama yang sempurna dan komprehensif, seharusnya Islam memiliki konsep tentang negara, karena negara merupakan hal yang pasti tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Begitu pentingnya sebuah negara bagi manusia sampai-sampai seorang Aristoteles dalam bukunya “The Politics” menyebut manusia sebagai zoon politicon, atau makhluk politik. Artinya, fitrah kehidupan manusia adalah bernegara, dan setiap manusia pasti memiliki naluri untuk bernegara. Atas dasar ini, bagaimana sebenarnya konsep negara dalam Islam ?

Berdasarkan beberapa literatur, dapat dikatakan bahwa Islam tidak memiliki konsep negara. Semua konsep-konsep negara Islam yang kita kenal sekarang ini hanyalah tafsiran dari beberapa tokoh pemikir Islam. Lalu bagaimana dengan Madinah ketika zaman Rasulullah ? Bukankah itu merupakan sebuah negara ? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sampai sekarang pun masih terdapat perdebatan sengit mengenai Madinah pada masa Rasulullah adalah negara atau bukan. Tetapi yang jelas—sejauh yang saya tahu—Rasulullah tidak pernah menyampaikan dalam haditsnya bagaimana bentuk negara yang baik ? Bagaimana sistem pemerintahan yang sesuai dengan Islam ? Lebih-lebih Al-Qur’an, tidak ada ayat Al-Qur’an yang menyebut tentang bentuk negara, ataupun semacamnya.

Mengapa Islam Tidak Memiliki Konsep Negara ?

Sebagaimana telah dijelaskan tadi, Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, pertanyaan mendasarnya, mengapa Islam tidak memiliki konsep tentang negara ? Kalau begitu, dimana letak kesempurnaan Islam ? Menurut saya, kesempurnaan Islam justru terletak pada tidak adanya konsep negara yang diaturnya. Mengapa demikian ? Karena tidak ada konsep negara terbaik dan berlaku universal. Bayangkan jika Al-Qur’an misalnya menyebut bahwa konsep negara yang baik adalah ketika sebuah negara dipimpin oleh satu orang yang bersifat absolut. Ajaran Al-Qur’an ini akan mudah dipatahkan dengan suatu—meminjam istilah Amien Rais—“aksioma politik” dari Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.

Lalu, bagaimana dengan demokrasi ? Bukankah itu yang terbaik ? Agaknya, kita harus mulai sadar, membuka mata, telinga, dan hati kita. Demokrasi bukanlah konsep negara terbaik. Demokrasi mengundang banyak sekali ekses dan kelemahan yang bisa mengancam suatu negara. Pada dasarnya, sebuah konsep negara yang baik haruslah didasarkan atas kebudayaan dan tradisi negara yang bersangkutan, bukan konsep “impor” dari negara lain. Memang ada beberapa nilai demokrasi yang juga diajarkan dalam Islam dan tertera di Al-Qur’an maupun Al-Hadits, namun itu tidak berarti bahwa konsep negara terbaik adalah demokrasi.

Tidak ada konsep negara terbaik dan bisa berlaku di seluruh wilayah. Demokrasi memang cocok untuk negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, karena tradisi kebudayaan mereka adalah liberalisme, namun belum tentu bisa berhasil di negara-negara Asia, khususnya Indonesia. Konsep monarki mungkin cocok untuk Arab Saudi, namun belum tentu bisa berjalan baik jika diterapkan di Australia. Sistem otoriter mungkin baik untuk Malaysia, namun belum tentu cocok untuk Amerika Serikat. Begitu seterusnya, sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa konsep negara yang terbaik adalah yang sesuai dengan konteks negaranya masing masing. Belum tentu sebuah sistem yang berhasil di suatu negara juga bisa berhasil di negara lainnya.

Allah memang Maha Tahu. Bisa dibayangkan jika misalnya Al-Qur’an mengatur tentang sebuah konsep negara—yang implikasinya adalah semua umat muslim di penjuru dunia harus menjalankan konsep tersebut—maka akan terjadi sebuah distrust terhadap ajaran Islam. Berangkat dari premis awal bahwa konsep negara tidak universal, maka tentunya konsep negara yang diatur dalam Islam tadi mungkin bisa berhasil di beberapa negara, namun tidak di negara lainnya. Bagi umat muslim yang negaranya tidak berhasil tersebut tentu akan bertanya-tanya, mengapa konsep Islam seperti ini ? mengapa perintah Allah dalam Al-Qur’an bukannya mendatangkan kesejahteraan, namun justru mendatangkan kesulitan ?

Begitulah, Islam memang tidak mengatur secara jelas bagaimana konsep negara yang baik, bukan karena Islam tidak sempurna, tetapi karena memang itulah kesempurnaan Islam. Islam hanya mengajarkan nilai-nilai yang harus ada dalam sebuah negara, seperti musyawarah, persaudaraan, persamaan derajat manusia, dll. Tujuannya adalah agar kita mau berfikir, berfikir, dan berfikir, bukan semata-mata hanya menerima mentah-mentah, lalu dilaksanakan apa adanya. Allah menginginkan kita menjadi manusia yang cerdas, kritis, dan kreatif, bukan menjadi manusia yang selalu “menjadi buntut”, yang hanya bisa ikut-ikutan.