Sabtu, 02 Oktober 2010

Pemikiran Politik Yunani Kuno

Ketika membahas tentang sebuah pemikiran, kita tidak bisa lepas dari konteks sosio historis atau keadaan lingkungan yang terjadi ketika pemikiran tersebut muncul, karena pada dasarnya sebuah pemikiran pasti dipengaruhi oleh lingkungan disekitar pemikir. Dalam konteks pemikiran Yunani kuno, tentunya kita akan mengacu pada latar belakang keadaan yang terjadi ketika itu. Ada dua negara kota (city state) di Yunani yang menjadi perhatian dalam kajian tentang pemikiran Yunani kuno. Kedua negara kota itu adalah Athena dan Sparta.

Orang-orang Yunani kuno memang menaruh perhatian pada permasalahan kehidupan, termasuk masalah sosial dan politik. Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi: Pertama, adanya kebebasan untuk berbicara. Jadi yang ditekankan ketika itu adalah argumentasi, bukan senjata. Adu argumentasi seperti ini pada akhirnya memancing nalar untuk berpikir kritis dan akhirnya menghasilkan banyak sekali pemikiran. Kedua, negara-negara di Yunani kuno sering berganti-ganti sistem pemerintahan, dari mulai aristrokasi, tirani, hingga demokrasi. Pergantian yang sering ini juga memancing nalar mereka untuk berpikir. Ketiga, ketika itu adanya persamaan tentang pengertian masyarakat dan negara. Karena wilayahnya yang kecil, jadi tidak ada pemisahan antara masyarakat dengan negara. Masyarakat sama dengan negara, begitupun sebaliknya. Masalah hidup dan masalah pergaulan bersama merupakan masalah negara. Keempat, keadaan dan cara hidup orang Yunani kuno ketika itu memang mengharuskan mereka untuk selalu memperhatikan dan mendiskusikan masalah-masalah kehidupan.

Athena dan Kematian Socrates

                Seperti telah disinggug sebelumnya, Athena merupakan salah satu negara kota di Yunani kuno yang memegang peranan penting dalam pemikiran politik barat. Sistem yang dikembangkan Athena merupakan cikal bakal lahirnya demokrasi, dimana setiap orang bebas untuk mengemukakan pendapatnya, dan setiap orang bebas berargumen, terutama dimasa pemerintahan Priceles. Meskipun begitu di Athena masih terdapat perbedaan kelas, yaitu: warga negara, pedagang, dan budak. Ketiga kelas ini telah memiliki domain nya masing-masing, dan hanya kelompok warga negara lah yang diberi kebebasan untuk berbicara, berargumen, dan menghasilkan buah pemikiran.

                 Dimasa pemerintahan Priceles, Athena berkembang menjadi sebuah negara yang sangat demokratis. Prinsip yang dijalankan ketika itu adalah demokrasi langsung, dan setiap warga negara bebas berbicara, tanpa ada perbedaan perlakuan. Semua warga negara dipandang sama dimata hukum dan politik, juga tidak diperbolehkan adanya diskriminasi dalam proses pengambilan kebijakan negara. Sistem seperti inilah yang kemudian menjadi prototype demokrasi dimasa sekarang. Hubungan antar warga negara dimasa inipun sangat erat, layaknya sebuah keluarga.

                Namun, Athena memiliki kekurangan, yaitu tidak memiliki kekuatan perang yang memadai. Akibatnya, ketika perang Peloponnesia, negara Athena berhasil dikalahkan oleh Sparta yang kekuatan militernya sangat kuat. Kekuatan militer Sparta salah satunya dipengaruhi oleh faktor sistem pemerintahannya yang aristokratis-otoriter dan adanya sistem wajib militer bagi semua penduduknya, tidak terkecuali wanita dan anak-anak.

                Setelah kekalahan tersebut, Athena memulai kehidupannya yang baru dengan munculnya kaum Sofis, yaitu sekelompok intelektual yang memikirkan masalah-masalah filosofis dalam kehidupan. Kaum sofis diyakini sebagai gerakan perintis pendidikan dimasa Yunani kuno. Biarpun begitu, lama kelamaan mulai timbul sikap pragmatisme dalam kelompok Sofis. Mereka menarik uang dari ajaran yang diberikannya kepada masyarakat. Bahkan lambat laun, yang dipentingkan justru sisi uangnya daripada sisi kebenaran pengetahuan yang diberikan. Inilah yang menjadi sasaran kritik bagi Socrates. Socrates ini sendiri merupakan seorang filsuf yang kritis, dia sering disebut sebagai bapak etika, karena selalu bertanya “apa itu benar ?”, “apa itu baik ?”, dsb. Pencarian kebenaran Socrates dengan cara dialog Socrates, belakangan disebut metode skeptisisme, yang intinya adalah bertanya dan bertanya.

Socrates mengkritik kaum Sofis karena dianggap sangat pragmatis. Selain itu, Socrates tidak setuju pendapat Sofis yang mengatakan bahwa salah dan benar tergantung penilaian manusia, dan kepada kaum Sofis tidak bisa dikenakan kriteria benar dan salah, segala perkataan Sofis pasti benar. Socrates tidak sepaham dengan ini semua. Karena dianggap mengancam eksistensi kaum Sofis, maka Socrates dianggap sesat oleh mereka dan akhirnya Socrates pun dihukum mati.

Plato dan Pemikirannya

                Plato merupakan murid setia dari Socrates. Kematian gurunya ditengah iklim demokrasi yang sedang berkembang di Athena, menimbulkan kekecewaan Plato terhadap sistem demokrasi. Menurutnya, demokrasi hanya akan membawa hal-hal buruk, salah satunya adalah kematian gurunya. Oleh karena itu, dalam pemikirannya, ia merupakan penentang demokrasi dan anti terhadap individualisme. Karir intelektualnya dimulai ketika ia membuat sekolah di Athena yang bernama Akademi, dan dari sekolah itulah ia membuat sebuah buku yang sangat terkenal, yaitu Politeia (Republik).

                Tokoh ini sering dibilang idealis-utopis, karena pemikiran-pemikirannya terlalu ideal, normatif, berimajinasi tinggi. Menurutnya, negara ideal adalah negara yang: (1) mementingkan kebajikan. Baginya kebajikan adalah pengetahuan, dan cara untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui pendidikan. Itulah alasannya mengapa Plato mendirikan Akademi. Menurutnya, seorang pemimpin haruslah memiliki kebajikan untuk bisa membentuk sebuah negara yang baik. Oleh karena itu, syarat utama bagi seorang penguasa menurut Plato adalah ia harus memiliki pengetahuan yang luas, dan itu hanya ada pada diri seorang filsuf. Konsep ini dikenal dengan istilah The Philosopher King. Dalam bukunya Politeia, Plato mengibaratkan seorang penguasa seperti dokter yang harus mempu mendeteksi penyakit masyarakat, mendiagnosanya, dan akhirnya mengobati penyakit tersebut. (2) Memastikan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan mengawasi proses penukaran timbale balik antar orang. Plato beranggapan, adanya negara karena adanya hubungan timbal baalik dan rasa saling membutuhkan antar sesama. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena itulah hubungan timbal balik menjadi penting sebagai sarana pemenuhan kebutuhan, dan negara harus memastikan ini berjalan dengan baik. (3) Larangan atas hak pemilikan pribadi dalam bentuk harta dan keluarga. Plato pada akhirnya mengusung ide kolektivisme atau kepemilikan bersama. Menurutnya, kepemilikan pribadi hanya akan menyebabkan kesenjangan, kecemburuan, yang pada akhirnya menyebabkan kompetisi tidak sehat. Karena itu, ia beranggapan bahwa harta dan keluarga, termasuk istri dan anak-anak merupakan milik bersama. (4) Tidak mementingkan individualisme. Baginya, individualisme hanya akan membuat manusia memikirkan dirinya sendiri tanpa mau memikirkan orang lain. Sikap ini pada akhirnya menumbuhkan egoism, dan pada akhirnya akan tercipta kesenjangan.

                Dalam Politeia, Plato tidak berbicara tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berargumen. Agaknya ini bertentangan dengan ide dia sendiri bahwa pemimpin haruslah orang pintar, cerdas, dan berpengetahuan luas. Mengapa demikian ? Karena kepintaran hanya bisa didapat ketika nalar bisa bekerja dengan sangat baik, dan nalar hanya bisa dikembangkan melalui argumen, kritik, pendapat, dan pemikiran. Satu hal lagi yang perlu dicermati, menurutnya, jika pemimpin sudah tidak mampu mewujudkan negara yang ideal, maka pemimpin bisa diganti, namun ia tidak berpikir tentang bagaimana caranya.

                Jika dicermati, pemikiran Plato merupakan antitesa dari keadaan Athena sebelum keruntuhannya. Sistem demokrasi, individualisme, kebebasan berpendapat yang diusung Athena ketika itu nyatanya hancur lebur ketika Peloponnesia, dan sistem yang aristokratis dan ototriterlah yang lebih unggul (Sparta). Kehancuran Athena itu, negara yang sangat dicintainya, dan juga kematian gurunya ditengah iklim demokrasi, membuatnya berpikir demikian. Banyak ilmuwan yang beranggapan bahwa pemikiran Platonik inilah yang kemudian menjadi inspirator Marx dan Engel untuk mengembangkan ide-ide komunisme.

Aristoteles dan Pemikirannya

                Aristoteles merupakan murid dari Plato di Akademi. Walaupun begitu, sifat pemikirannya berbeda dengan gurunya yang idealis-utopis, dan berdasarkan logika deduktif. Aristoteles merupakan seorang filsuf yang realis-empiris, dan mendasarkan pemikirannya berdaarkan fakta, bukan hasil kontemplasi yang imajinatif, logika yang digunakannya pun adalah induktif.

                Aristoteles juga menulis sebuah buku yang sangat fenomenal yang berjudul Politics. Dalam buku tersebut, Aristoteles menuliskan gagasannya tentang asal mula negara yang menurutnya berawal dari individu. Individu-individu ini tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan individu lainnya agar tetap hidup, maka secara fitrah, individu tadi akan bergantung kepada individu lainnya, dan membentuk sebuah kelompok yang berdasarkan keturunan, atau yang disebut keluarga. Keluarga inipun pada hakikatnya juga membutuhkan keluarga-keluarga yang lain untuk bisa tetap bertahan, maka kumpulan dari keluarga-keluarga tersebut akan membentuk sebuah masyarakat/negara. Perlu dipahami bahwa Aristoteles tidak membedakan antara masyarakat dan negara, sama halnya dengan keadaan di Yunani Kuno ketika itu. Ia menganggap bahwa, negara merupakan bentuk akhir dari gabungan unsur-unsur tadi, sehingga negara merupakan bentuk yang paling sempurna dan bia mewujudkan kesempurnaan hidup.

                Menurutnya, manusia adalah zoon politicon, atau makhluk politik yang berarti secara fitrah manusia membutuhkan politik, membutuhkan negara untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnannya. Disinilah menurut Aristoteles, negara merupakan hal yang perlu ada dalam kehidupan. Negara menurutnya memiliki tujuan: (1) mensejahterakan seluruh warganya, bukan individu tertentu, (2) agar manusia mencapai kebahagiaan, dan (3) memanusiakan manusia, atau dengan kata lain memperlakukan manusia layaknya manusia.

                Berbeda dengan gurunya yang mengusung ide kolektifisme, Aristoteles justru memperbolehkan adanya hak milik individu. Ada dua alasan mengapa Aristoteles memperbolehkan dan bahkan menganggap penting kepemilikan individu, yaitu: (1) hak kepemilikan individu akan membuat orang memiliki lebih banyak waktu luang untuk berpikir dan mngurus masalah negara. Menurutnya, milik adalah alat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga tersedia banyak waktu luang untuk berpikir tentang urusan masyarakat. (2) Kepemilikan akan mendatangkan kebahagiaan, karena kebahagiaan hanya bisa diperoleh jika seseorang memiliki harta dan kekayaan. Jalan pikir seperti ini agaknya menunjukkan bahwa Aristoteles merupakan pemikir yang materialis.

                Mengenai konsep ukuran negara, Aristoteles beranggapan bahwa negara yang baik tidak berukuran besar, namun juga tidak terlalu kecil. Menurutnya, negara yang terlalu besar akan sulit untuk dijaga, dan negara yang kecil akan mudah untuk dikuasai dan ditaklukan negara lain. Aristoteles lebih sepakat dengan konsep city state, atau negara kota dalam hal luas wilayahnya. Pemikirannya ini berbeda dengan muridnya, yaitu Iskandar Zulkarnaen atau Iskandar Agung yang menginginkan sebuah imperium besar dengan menyapu bersih semua negara kota yang ada. Pada akhirnya nanti, perbedaan inilah yang membuat dirinya harus pergi dari Athena dan akhirnya meninggal di Euoba (daerah sebelah timur Yunani).

Sabtu, 25 September 2010

Kebijakan Publik

Menurut G.C. Edwards dan Ira Sharkanzky, kebijakan publik adalah what’s government say and do and do not do. Ahli lainnya, yaitu Thomas R. Dye berpendapat bahwa kebijakan publik adalah whatever government chooses to do or do not do. Dari kedua definisi tadi, bisa disimpulkan bahwa kebijakan publik sebenarnya merupakan kebijakan pemerintah, atau dengan kata lain semua kebijakan pemerintah merupakan kebijakan publik. Mengapa demikian ? karena semua kebijakan pemerintah pasti diperuntukkan untuk publik, dan yang berwenang mengatur urusan publik hanyalah pemerintah.

Daridefinisi diatas juga bisa dilihat bahwa jika pemerintah diam, itu juga merupakan sebuah kebijakan. Diamnya pemerintah dikatakan sebagai kebijakan karena itulah hasil dari proses perumusan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah. Jika kita ingat teori tentang sistem politik dimana kebijakan merupakan output-nya, maka kita pun tentu akan ingat bahwa output didahului oleh proses. Proses yang dimaksud disini adalah decision making atau memilih satu kebijakan diantara beberapa opsi kebijakan. Dengan kerangka berpikir tersebut, berikut adalah contoh tentang kebijakan pemerintah yang diam (do nothing). Dalam sebuah aksi demonstrasi mahasiswa di depan istana negara, sebenarnya pemerintah memiliki beberapa opsi kebijakan, diantaranya misalnya: pertama, presiden secara langsung menemui mahasiswa diluar istana; kedua, presiden mendelegasikan seorang stafnya untuk menemui mahasiswa diluar istana; ketiga, beberapa perwakilan mahasiswa dipersilahkan masuk ke istana sebagai perwakilan untuk menemui presiden dan menyampaikan tuntutannya langsung di depan presiden; keempat, membubarkan paksa aksi demonstrasi tersebut; kelima, diam atau tidak melakukan apa-apa. Diantara beberapa opsi kebijakan tersebut, pemerintah memilih opsi kelima, yaitu diam. Dengan kata lain, output dari proses decision making yang telah dilakukan adalah diam. Melalui logika ini, bisa dipahami bahwa diam juga merupakan sebuah kebijakan publik.

Dalam sebuah pengambilan kebijakan, perlu diperhitungkan seberapa besar cost and benefit-nya. Pengertian cost and benefit disini bukan hanya yang menyangkut materi atau uang, melainkan juga menyangkut aspek sosial, politik, budaya, dsb. Jangan sampai kebijakan yang diambil membutuhkan cost yang lebih besar daripada benefit­-nya. Jika hal itu yang terjadi, bukan tidak mungkin kebijakan yang diambil tidak berhasil dan tidak bisa berjalan dengan baik, bahkan yang lebih parah, bisa menimbulkan kerugian bagi si pengambil kebijakan. Sifat kebijakan publik adalah makro, artinya sebuah kebijakan tidak untuk mengurus hal-hal yang teknis. Urusan-urusan teknis diurus oleh para pelaksana yang tertuang dalam petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Dalam pelaksanaannya, umumnya sebuah kebijakan tidak selalu berjalan dengan mulus, banyak masalah yang kemudian timbul di tengah jalan dan menuntut perhatian pemerintah. Dalam hal ini, biasanya pemerintah menegluarkan kebijaksanaan, seperti bujukan, negosiasi, tawar menawar, dsb. Hal ini juga merupakan kebijakan, yaitu kebijakan yang diambil dengan memberi kebijaksanaan.

Proses Kebijakan Publik

Sebuah kebijakan publik, pasti melalui tiga tahapan, yaitu formulasi, implementasi, dan evaluasi. Kebijakan pada awalnya diformulasikan, atau bahasa lainnya “digodok” oleh para pengambil kebijakan. Pada tahap ini, aktor-aktor yang berperan umumnya adalah pihak eksekutif dan legislatif. Mereka bertindak sebagai perumus kebijakan yang akan dikeluarkan. Dalam tahap formulasi ini, umumnya banyak sekali ditemui unsur-unsur politis seperti lobby-lobby politik, tawar menawar, negosiasi, dll. Agaknya bisa dipahami mengapa dalam tahap ini mengandung banyak intrik politik, karena para perumus kebijakan memiliki kepentingan masing-masing--yang ingin terus mereka pertahankan--terhadap sebuah kebijakan yang akan dibuat tersebut, bisa karena ada kepentingan partai,kepentingan kekuasaan, dll.

Tahap kedua dari sebuah proses kebijakan adalah tahap pelaksanaan atau implementasi. Dalam tahap ini, unsur-unsur politis mulai berkurang, namun masih tetap ada. Jika boleh dipersentasikan, antara aspek politis dengan aspek administratif bernilai 50%-50%, atau seimbang. Contoh aspek politis dari tahap ini adalah misalnya ketika pemilihan developer dari sebuah proyek. Para pelaksana kebijakan bisa saja memilih dari keluarganya, kerabat dekatnya, temannya, dll.

Tahap terakhir dari sebuah kebijakan adalah evaluasi. Dalam tahap ini, aspek administratif sudah mendominasi proses kebijakan, walaupun masih ada sedikir aspek politis. Unsur politis dari tahap ini umumnya biasa kita kenal dengan istilah “asal bapak senang”. Maksudnya adalah membuat laporan kegiatan atau evaluasi dengan hanya memasukkan hal-hal yang baik dan bagus saja tanpa memasukkan hal-hal yang memang harus dievaluasi. Intinya, hanya berpikir untuk menyenangkan atasan saja, tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Pemikiran Politik Indonesia Masa Pergerakan

Pemikiran politik masa pergerakan dimulai dari munculnya Budi Utomo pada tahun 1908. Lahirnya organisasi ini merupakan tonggak awal pergerakan bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Setelah munculnya Budi Utomo, mulailah muncul organisasi-organisasi lainnya yang juga berpikiran untuk melawan penjajahan. Namun, yang perlu dicatat adalah ketika itu organisasi-organisasi yang didirikan masih menamakan etnik/suku bangsanya masing-masing, bukan atas nama Indonesia. Hal ini terbukti dari adanya organisasi-organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatrenan Bond, dan lainnya. Semangat pergerakan ini sendiri mulai muncul semenjak runtuhnya “mitos kulit putih”, dimana ada anggapan bahwa orang kulit putih adalah merupakan yang terkuat, super power, dan tidak bisa dikalahkan. Anggapan ini hancur setelah kemenangan Jepang atas Rusia di perang dunia, sehingga hal tersebut memicu semangat dari para pemuda Indonesia untuk berjuang.

Definisi Bangsa dan Implikasinya

Ketika masa-masa pergerakan, belum dikenal istilah nation-state yang kita artikan seperti sekarang. Saat itu, pengertian bangsa diidentikkan dengan etnik. Dari hal ini bisa dimenegrti bahwa ketika itu perjuangan melawan kolonial masih terkotak-kotak, atau dengan kata lain perjuangannya masih sendiri-sendiri, berdasarkan etnik. Pengertian bangsa sebagai etnik ditambahkan oleh Rennan & Bauer dengan adanya karekter. Artinya, bangsa merupakan sekelompok orang yang mempunyai pengalaman politik yang sama dan berusaha mempertahankan, kelompok, karakter, dan daerahnya. Pendifinisian ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa ketika itu. Akan tetapi, menurut Soekarno, pendefinisian tadi belum sempurna karena belum memasukkan unsur tempat atau geopolitik yang harus dipertahankan sampai mati.

Pemikiran Soekarno ini memicu reaksi dari tokoh seperti Agus Salim, dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Mereka menganggap bahwa pemikiran seperti itu sama saja dengan bentuk penyembahan berhala terhadap negara. Perdebatan inilah yang pada akhirnya memicu polemik antara agama dan negara, khusunya yang terjadi disekitar era ‘30an dan ‘40an, ketika penentuan apa yang menjadi dasar negara saat Indonesia menjelang kemerdekaannya. Dalam polemik ini, timbul dua kubu yang saling mempertahankan argumennya masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, M. Natsir, dan A. Hasan. Kelompok ini menyatakan bahwa agama dengan negara merupakan kesatuan yang integral dan tidak bisa dipisahkan. Namun, kelompok lain--yaitu Soekarno dan pendukung paham nasionalis lainnya--beranggapan bahwa agama dan politik tidak bisa disatukan, mereka terpisah satu sama lain. Agaknya pemikiran Soekarno ini diperngaruhi oleh pemikiran dari Kemal Ataturk, Bhipir Chandra Boze, Syekh A. Raziq, Musthafa Kamil, Halida Edib Hanow, Sun Yat Sen, dll.

Para Pemikir Islam

Menurut Agus Salim, dasar negara yang nasionalis hanya akan menimbulkan chauvinisme atau nasionalisme sempit. Ini didasarkan atas adanya peperangan yang terjadi di Eropa Barat karena perebutan daerah ekspansi industri. Adanya akspansi ini didasarkan adanya rasa chauvinisme di kalangan negara-negara Barat ketika itu. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Agus Salim. Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa cinta bangsa seharusnya diwujudkan dengan mendahulukan kepentingan bangsanya, seperti perbaikan ekonomi, politik, dsb, bukan dengan membela negara sampai mati dan mengesampingkan aspek-aspek lainnya.

Lain halnya dengan HOS Tjokroaminoto. Pemikir ini agaknya lebih moderat, karena memperbolehkan dasar negara berasas nasionalisme atau kebangsaan, namun dengan catatan tidak boleh sampai pada tahap chauvinisme. Pandangan ini sangat berbeda dengan pemikiran A. Hasan yang mengatakan bahwa paham kebangsaan atau nasionalisme dilarang dalam Islam dan hukumnya haram, dosa jika dilakukan. Pemikiran ini didasarkan pada pemahaman bahwa dalam Islam yang dipentingkan adalah kebersamaan umat, bukan konsep negara yang memiliki sekat-sekat dan batas-batas kewilayahan.

Dalam hal tanggapan terhadap pemikiran Soekarno yang nasionalis, Natsir beranggapan bahwa Soekarno kagum terhadap Kemal Ataturk yang bisa merubah Turki menjadi negara modern setelah keterpurukannya dimasa dinasti Usmaniyah, sampai-sampai dimasa itu Turki dijuluki the sick man of Europe. Keberhasilan Kemal yang membuat Turki menjadi bangkit itulah yang menjadi salah satu inspirator Soekarno untuk berpikir sekuler, atau memisahkan agama dan negara. Akan tetapi, menurut Natsir, dinasti Usmani ketika itu tidaklah mencerminkan Islam yang sesugguhnya. Terpuruknya dinasti Usmani dikarenakan kesewenang-wenangan peguasa yang berkuasa ketika itu. Jadi anggapan bahwa Turki menjadi terpuruk karena adanya penyatuan antara negara dan agama merupakan anggapan yang keliru.

Para pemikir Islam masa pergerakan umumnya menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, bukan nasionalisme, atau yang lainnya. Namun, ide-ide dan pemikiran mereka terganjal karena sang penguasa ketika itu, Soekarno, lebih menginginkan nasionalisme yang menjadi dasar negara, yang dimanifestasikan dalam bentuk Pancasila.

Para Pemikir Kebangsaan/Nasionalis

Menurut Syekh Abdul, dalam sumber hukum Islam, tidak ada perintah untuk membuat negara Islam. Pemikiran ini agaknya memang benar karena di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak diatur tentang bagaimana seharusnya sebuah negara, atau dengan kata lain memang tidak ada perintah untuk membangun sebuah negara Islam. Hal ini berbeda dengan pemikir sekuler lainnya seperti Bipir Chandra Boze dan Sun Yat Sen, yang merupakan pejuang kaum tertidas, sehingaa semangat nasionalisme mereka benar-benar tinggi. Lain lagi dengan pemikiran dari Halida Edib Hanow dan Mustafa Kamil yang mengatakan bahwa saat ini bukan zamannya lagi kekhalifahan, melainkan sekarang adalah zaman nasionalisme.

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ada kelompok pemikir yang tidak menginginkan pencampuran unsur agama dan negara. Pemikiran inilah yang diadopsi oleh Soekarno dalam meletakkan pondasi bagi bangsa Indonesia. Inspirasi tentang pemikiran ini didapat dari beberapa tokoh sekulerisme yang telah disebutkan diatas. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah prinsip nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno adalah humanisme, bukan chauvinisme. Jadi Soekarno tetap mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam prinsip nasionalismenya.

Pemikiran Soekarno inilah yang akhirnya “memenangkan” polemik tentang apa yang menjadi dasar bagi negara Indonesia. Dalam konstitusi, diatur bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Namun, perdebatan tersebut kembali memanas ketika perumusan kembali konstitusi dalam konstituante untuk mengganti UUDS 1950. Perdebatan sengit kembali terjadi dalam meja konstituante yang pada akhirnya dibubarkan oleh Soekarno melalui dekrit karena dianggap tidak mampu menyelesaikan tugas untuk merumuskan konstitusi baru. Akhirnya, berdasarkan dekrit pula, konstitusi kembali ke UUD 1945, dan dengan kata lain dasar negara tetap Pancasila. Ini menyebabkan kekecewaan para kaum pro Islam yang pada akhirnya nanti muncullah gerakan-gerakan ekstrimis Islam yang radikal, seperti DI/TII.