Minggu, 06 Desember 2009

Bahkan Binatangpun Bersyukur Tidak Menjadi Seorang Manusia

Sebuah kisah tentang malaikat yang bertanya kepada tiga binatang, yaitu kerbau, kelelawar, dan cacing...

"wahai kerbau, apakah engkau ridho menjadi seekor makhluk yang hidup dalam kubangan lumpur yang kotor ?", tanya malaikat.
"wahai malaikat, aku ridho dan sangat bersyukur kepada Allah SWT. Aku tidak bisa membayangkan jika aku menjadi seekor kelelawar yang membersihkan dirinya dengan air kencingnya sendiri", jawab sang kerbau dengan penuh rasa syukur.

Sang malaikat pun bertanya pada kelelawar,
"wahai kelelawar, apakah engkau ridho menjadi seekor makhluk yang membersihkan diri dengan air kencingmu sendiri ?", tanya malaikat.
"wahai malaikat, aku ridho dan sangat bersyukur pada Allah SWT. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika aku harus menjadi seekor cacing yang bahkan untuk bergerak pun, dia harus rela menggunakan perutnya", jawab sang kelelawar, juga dengan penuh rasa syukur.

Sang malaikat pun juga bertanya pada cacing,
"wahai cacing, apakah kamu ridho menjadi seekor makhluk yang harus bergerak dengan menggunakan perutmu dan harus mencari makan di tanah yang gelap ?", tanya sang malaikat.
"wahai malaikat, aku ridho dan sangat bersyukur kepada Allah SWT. Adalah sebuah musibah bagiku jika aku harus menjadi seorang manusia yang SERAKAH, dan TAMAK", jawab cacing dengan rasa penuh syukur kepada Illahi.

*Dikutip dari cerita Pak Adhyaksa Dault dalam acara "Damai Indonesiaku" di TV One pada hari Minggu, 6 Desember 2009

Perubahan Kebudayaan dan Globalisasi (sebuah intisari dari buku Cultural Anthropology karangan Gary Ferraro chapter 16 dan sumber-sumber terkait)

Kebudayaan selalu berubah dari waktu ke waktu. Tidak bisa dipungkiri bahwa di era modern seperti sekarang, kebudayaan bisa berubah dengan sangat cepat. Tidak jarang pula, manusia akan merasa kaget ketika kebudayaannya bisa berubah dengan kurun waktu yang singkat. Seperti dikemukakan oleh Alvin Toffler, manusia akan mengalami future shock dikarenakan adanya disorientasi psikologis yang dihasilkan dari adanya perubahan lingkungan kebudayaan dengan sangat cepat, sehingga manusia merasa bahwa dirinya telah hidup di masa depan.

Adanya perubahan kebudayaan, membuat dunia terasa lebih “sempit”. Sebagai contoh, dengan adanya fasilitas internet, kita bisa mengetahui berita-berita terbaru dari seluruh penjuru dunia dalam waktu yang relatif singkat. Jika dibandingkan dengan zaman dahulu dimana internet belum dikenal oleh manusia, tidak mungkin manusia mampu mengetahui berita/perkembangan dari seluruh penjuru dunia dalam waktu yang singkat. Contoh lain, dengan adanya pesawat terbang, manusia bisa bepergian ke negara lain dengan waktu yang singkat, bahkan hanya dalam hitungan jam. Zaman dahulu ketika manusia belum mengenal pesawat, bepergian dari satu wilayah ke wilayah lainnya perlu memakan waktu yang sangat lama, bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun lamanya.

Invensi dan Inovasi
Sebuah hal, ide atau pola perilaku yang baru dalam sebuah masyarakat disebut dengan invensi. Menurut Ralph Linton, seorang inventor sebenarnya telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan di dunia dengan ide-ide barunya. Akan tetapi, ide-ide tersebut tidak diaplikasikan dan dipergunakan secara maksimal dalam kehidupan, sehingga tidak sedikit dari para inventor yang justru tidak “tercatat” dalam sejarah peradaban manusia.

Lain halnya dengan inovasi. Seorang inovator merupakan seorang yang mampu mengaplikasikan ide-ide baru dalam kahidupan secara maksimal. Tidak jarang seorang inovator sebenaarnya hanya mencuri ide-ide baru dari seorang inventor. Namun, karena seorang inventor bisa mengaplikasikan ide-ide tersebut dengan maksimal, maka seorang inventor lah yang biasanya “tercatat” dalam sejarah peradaban manusia. Contoh konkrit yang akan memperjelas perbedaan dari invensi dan inovasi adlaha sebagai berikut:

“Pembersih vakum (vacuum cleaner) ditemukan oleh orang yang bernama J. Murray Spengler. Tetapi semua orang tahu bahwa nama W.H. Hoover-lah yang identik dengan vacuum cleaner, padahal ia tidak tahu sama sekali mengenai vacuum cleaner, namun Hoover memiliki suatu ide yang bagus tentang cara memasarkan dan menjual vacuum cleaner. Karena itu, akhirnya nama Hoover-lah yang tercatat sebagai penemu vacuum cleaner”[1]

Para inventor dan inovator biasanya datang dari kalangan masyarakat marjinal, karena ia mampu melihat permasalahan dan menemukan solusi dengan pemikiran yang jernih dan tidak terpengaruh dengan tradisi.

Difusi
Difusi adalah suatu proses pencampuran ide ataupun pola perilaku antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Difusi merupakan sesuatu yang lazim terjadi dalam proses perkembangan kebudayaan manusia. Linton (1936) memperkirakan bahwa kurang dari 10 % kebudayaan yang masih benar-benar asli tanpa ada pengaruh dari luar.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa difusi merupakan suatu hal yang penting dalam perkembangan kebudayaan manusia. Oleh karena itu, perlu ada perumusan tentang bagaimana pola-pola difusi yang umumnya ditemui di sebagian besar kebudayaan, meskipun sebenarnya pola-pola tersebut sangat bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Pola-pola tersebut antara lain:

- Selektifitas
Proses ini merupakan sebuah proses alamiah yang terjadi dalam difusi kebudayaan. Ketika dua buah kebudayaan saling berinteraksi, tidak semua elemen budaya membaur dan mengalami pertukaran satu sama lain. Jika hal itu yang terjadi, maka pada saat ini tidak akan ada perbedaan kebudayaan antara satu dengan yang lain. Suatu elemen budaya akan diterima oleh suatu kebudayaan jika manfaat dari elemen tersebut sangat bermanfaat bagi kebudayaan yang bersangkutan.

- Resiprositas
Pada dasarnya, difusi merupakan sebuah proses dua arah. Difusi kebudayaan tidak hanya terjadi dari masyarakat yang maju kepada masyarakat yang belum maju. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa proses difusi tidak didominasi oleh kebudayaan yang sudah maju, akan tetapi masing-masing kebudayaan saling mengisi satu sama lain.

- Modifikasi
Ketika sebuah elemen budaya diterima dalam sebuah masyarakat, maka elemen budaya baru tersebut akan mengalami penyesuaian dengan situasi dan kondisi masyarkat yang bersangkutan.

- Likelihood
Beberapa elemen budaya memiliki kemudahan untuk berdifusi daripada elemen budaya lainnya. Elemen budaya yang mudah berdifusi biasanya berbentuk benda atau material, karena sifatnya yang mudah diterima dan konkrit. Beberapa elemen budaya yang sulit berdifusi antara lain ide, gagasan, pola perilaku, dan hal abstrak lainnya.

- Variabel
Proses difusi dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya: intensitas dan lamanya interaksi, tingkat integrasi kebudayaan, dan kesamaan-kesamaan antara kebudayaan “donor” dengan kebudayaan “penerima”.

Contoh difusi kebudayaan di Indonesia adalah adanya bangunan-bangunan bercorak Hindu di Indonesia. Corak dari bangunan-bangunan tersebut merupakan sebuah hasil dari proses difusi antara kebudayaan tradisional Indonesia saat itu dengan budaya Hindu.

Akulturasi
Akulturasi merupakan sebuah proses interaksi antara dua masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda, dimana salah satu kebudayaan menjadi dominan terhadap kebudayaan lain. Atau dengan kata lain, suatu proses pencampuran kebudayaan tanpa menghilangkan identitas masing-masing kebudayaan. Karena itu, dalam proses akulturasi--walaupun ada proses interaksi antar kebudayaan-- tidak menghasilkan kebudayaan yang baru.

Akulturasi memiliki beberapa konsekuensi, diantaranya: kebudayaan yang subordinat akan menjadi langka, atau justru bisa berasimilasi kepada budaya yang dominan. Selain itu, umumnya proses akulturasi diawali oleh adanya tekanan terhadap kebudayaan subordinat.

Contoh akulturasi di Indonesia adalah penggunaan bahasa Sansekerta dalam perbendaharaan kata pada bahasa Indonesia. Dalam proses pencampuran tersebut, tidak menghasilkan sebuah bahasa yang baru sebagai gabungan dari bahasa Sansekerta dan bahasa Indonesia. Aakan tetapi, bahasa Sansekerta menambah perbendaharaan bahasa Indonesia.

Perubahan yang Saling Berhubungan
Sebuah kebudayaan memiliki sistem yang menyeluruh. Antara satu elemen dengan elemen yang lain saling berhubungan satu sama lain. Karena itu, jika ada perubahan di salah satu elemen budaya, maka elemen-elemen budaya yang lain pun akan berubah. Sebagai contoh, misalnya ada inovasi di bidang teknologi, maka elemen-elemen budaya yang lainnya pun akan terpengaruh dengan adanya inovasi tersebut.

Hambatan Terhadap Perubahan Kebudayaan
Di setiap kebudayaan, selalu ada dua sisi yang saling berlawanan: mereka yang mendukung status quo dan mereka yang menginginkan perubahan. Tekanan dari kelomok yang menginginkan perubahan biasanya sangat kuat. Sebuah kelompok termotivasi untuk melakukan perubahan karena beberapaa faktor, seperti prestise, pertumbuhan ekonomi, dan cara-cara baru yang lebih efisien untuk memecahkan sebuah persoalan.

Perlu dipahami bahwa ada beberapa hambatan perubahan kebudayaan dalam sebuah masyarakat. Beberapa diantaranya adalah:

- Adanya pemeliharaan batas-batas budaya
Sebuah mekanisme yang penting untuk mencegah perubahan kebudayaan kebudayaan adalah dengan melakukan pembatasan terhadap kebudayaan kita. Biasanya pembatasan ini bersifat fisik, seperti pembatasan geografis. Aspek-aspek yang biasanya dipertahankan dalam sebuah kebudayaan adalah bahasa, pakaian, dan cara makan.

- Nilai Relatif
Terkadang suatu masyarakat justru menolak perubahan dalam kebudayaan mereka karena perubahan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang telah ada di kebudayaan mereka.

- Kebudayaan Sebagai Kesatuan Organis
Seperti telah dibahas sebelumnya, jika ada perubahan terhadap sebuah elemen budaya, maka hal tersebut juga akan membawa perubahan terhadap elemen-elemen budaya yang lainnya. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang tidak ingin melakukan perubahan kebudayaan karena takut ciri khas kebudayaan mereka juga ikut berubah.

Sebagai contoh di Indonesia, misalnya suku Badui pedalaman. Suku tersebut seolah tidak terjamah dengan adanya proses pembangunan dan industrialisasi. Kebudayaan dan tradisi disana masih sangat orisinil karena mereka memang ingin mempertahankan keaslian budayanya.
Mempertahankan Kebudayaan dari Masyarakat Pribumi
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui terlebih dahulu apa syarat sebuah masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat pribumi. Beberapa ciri dari masyarakat pribumi antara lain: sekumpulan orang yang menetap di suatu wilayah, memiliki kkekayaan kebudayaan berskala kecil, dan tidak memiliki peran-peran pemerintahan secara signifikan. Hal yang menarik perhatian pada masyarakat ini adalah keberadaannya yang mulai jarang karena pengaruh globalisasi dan modernisasi. Contohnya seperti suku Badui pedalaman tadi.

Urbanisasi
Urbanisasi disebabkan oleh adanya ketimpangan pembangunan antara perkotaan dengan pedesaan, sehingga masyarakat pedesaan pun lebih memilih untuk pindah ke kota agar bisa mendapatkan hasil pembangunan secara maksimal dan bisa mendapat pekerjaan yang layak. Urbanisasi biasanya ditemui di negara-negara berkembang, seperti negara-negaara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Di Indonesia sendiri, urbanisasi sangat sering kita jumpai, terlebih saat masa liburan Idul Fitri selesai. Orang-orang kota yang pulang kampung, saat kembali ke kota biasanya mengajak sanak saudaranya dari desa untuk diajak merantau di kota, seperti misalnya Jakarta.

Pembangunan
Saat ini, dunia telah dibagi dalam dua kategori negara, yaitu negara yang mampu, dan negara yang kurang mampu. Pengkategorisasian ini biasanya berdasar pada aspek tingkat industrialisasi negara yang bersangkutan. Adanya perbedaan ini, menimbulkan kesenjangan dan stratifikasi antar negara-negara di dunia yang pada akhirnya sering kita kenal dengan istilah negara maju dan negara bekembang.

Dalam pembangunan, kita mengenal sesuatu yang dinamakan teori modernisasi. Teori ini berdasar pada pendikotomian negara-negara tradisional dan negara-negara modern, bukan hanya dilihat dari segi realita di lapangan saja, tetapi juga perencanaan dan strategi untuk melakukan pembangunan, terutama di bidang ekonomi.

Teori lain tentang pembangunan adalah teori sistem dunia. Teori ini menyebutkan bahwa negara yang kaya dan negara yang miskin tidak berbeda secara fundamental dalam hal kebudayaan, karena pada hakikatnya mereka merupakan bagian dari sistem dunia yang sama.

Di abad ke-21 ini, kolonialisme dalam bentuk fisik (peperangan) memang sudah berakhir. Akan tetapi, proses kolonialisme tidak bisa dipungkiri masih tetap eksis di dunia ini. Sebuah proses yang kita kenal dengan istilah neo-kolonialisme. Negara-negara maju justru mengeksploitasi negara-negara berkembang dalam hal politik, ekonomi, keuangan, sampai kekuatan militer. Dengan dominasi itu, negara-negara maju bisa mengontrol pasar dunia.

Kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang juga disebabkan oleh adanya perusahaan multi nasional (MNC). Dengan MNC tersebut, negara maju bisa mengeksploitasi kekayaan alam negara berkembaang dengan mekanisme bisnis. Dengan begitu, negaara maju akan semakin maju, dan negara yang berkembang akan semakin miskin.

Di Indonesia, pembangunan (dalam hal ini industrialisasi) belum terlaksana secara maksimal. Indonesia masih mengandalkan bantuan dari luar negeri untuk bisa bertahan. Selain itu, adanya intervensi dari luar negeri seperti MNC pada kenyataannya ternyata justru menggerogoti kekayaan alam Indonesia, yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia sulit untuk berkembang.

Globalisasi
Melalui proses inovasi dan difusi, semua kebudayaan selalu berubah dari waktu ke waktu. Melalui proses tersebut, sebuah kebudayaan menerima sesuatu, ide, dan pola perilaku dari berbagai kebudayaan lain. Tentunya tingkat difusi kebudayaan antar satu masyarakat dengan masyarakat yang lain berbeda. Perubahan kebudayaan ini berlangsung secara terus menerus sampai akhirnya di awal 1990-an, dunia telah mengalami era baru, yaitu yang biasa disebut dengan globalisasi.

Menurut Thomas Friedmean (1999), globalisasi bukan hanya sebuah tren, tetapi globalissasi merupakan sebuah fenomena yang menggantikan sistem perang dingin (jika ditinjau dari aspek historis). Dengan adanya globalisasi, seolah tidak ada batasan antar negara di dunia, baik dalam bidang ekonomi, teknologi, maupun informasi. Dalam bidang ekonomi, hal yang paling mudah ditemui adalah adanya pasar global/perdagangan bebas. Komputer, televisi, internet, satelit komunikasi, dan pealatan canggih lainnya juga merupakan hasil nyata adanya globalisasi dalam bidang teknologi informasi.

Beberapa perbedaan kontras antara masa perang dingin dengan era globalisasi yang dikemukakan oleh Friedman adalah sebagai berikut:

- Perang dingin disimbolkan dengan tembok yang memisahkan antar masyarakat, sedangkan globalisasi disimbolkan dengan internet yang justru mengintegrasikan semua masyarakat dengan komunikasi

- Konsep “berat” telah berganti menjadi konsep “cepat”. Contohnya, jika dalam perang dingin pertanyaannya adalah, “seberapa besar misilmu?”, maka di era globalisasi pertanyaannya adalah, “seberapa cepat modemmu?”

- Mental yang muncul saat perang dingin adalah “kita” lawan “mereka”. Pada era globalisasi, setiap orang saling berkompetisi

- Dengan menggunakan analogi tentaang olahraga, era perang dingin diibaratkan dengan dua atlet sumo yang saling berjibaku untuk mengalahkan lawannyaa. Di era globalisasi, diibaratkan dengan pelari cepat yang saling mandahului untuk menguasai pasar global.

Adanya globalisasi ternyata membuat studi tentang kebudayaan menjadi semakin kompleks. Globalisasi membuat perubahan yang cepat dalam kebudayaan dunia. Di lain hal, globalisasi juga menstimulasi masyarakaat dengan kebudayaan yang masih tradisional untuk bisa memperbaiki diri mereka mengikuti perkembangan zaman.

Arus globalisasi di Indonesia sudah sangat terasa sekali efeknya, baik yang positif maupun yang negatif. Efek positif misalnya komunikasi yang sangat mudah dan arus informasi yang sangat cepat. Namun, kita tidak bisa menghindar dari efek negatifnya, yaitu adanya perdagangan bebas yang justru bisa membuat produsen mikro, kecil, dan menengah di dalam negeri sulit untuk bersaing dengaan perusahaan-perusahaan besar luar negeri.

[1] Subroto, Ahkam Muhammad. Invensi vs Inovasi. dikutip dari http://kekayaan-intelektual.blogspot.com/2008/07/invensi-vs-inovasi.html (diakses pada 5 Desember 2009 pukul 6:07)