Sabtu, 25 September 2010

Kebijakan Publik

Menurut G.C. Edwards dan Ira Sharkanzky, kebijakan publik adalah what’s government say and do and do not do. Ahli lainnya, yaitu Thomas R. Dye berpendapat bahwa kebijakan publik adalah whatever government chooses to do or do not do. Dari kedua definisi tadi, bisa disimpulkan bahwa kebijakan publik sebenarnya merupakan kebijakan pemerintah, atau dengan kata lain semua kebijakan pemerintah merupakan kebijakan publik. Mengapa demikian ? karena semua kebijakan pemerintah pasti diperuntukkan untuk publik, dan yang berwenang mengatur urusan publik hanyalah pemerintah.

Daridefinisi diatas juga bisa dilihat bahwa jika pemerintah diam, itu juga merupakan sebuah kebijakan. Diamnya pemerintah dikatakan sebagai kebijakan karena itulah hasil dari proses perumusan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah. Jika kita ingat teori tentang sistem politik dimana kebijakan merupakan output-nya, maka kita pun tentu akan ingat bahwa output didahului oleh proses. Proses yang dimaksud disini adalah decision making atau memilih satu kebijakan diantara beberapa opsi kebijakan. Dengan kerangka berpikir tersebut, berikut adalah contoh tentang kebijakan pemerintah yang diam (do nothing). Dalam sebuah aksi demonstrasi mahasiswa di depan istana negara, sebenarnya pemerintah memiliki beberapa opsi kebijakan, diantaranya misalnya: pertama, presiden secara langsung menemui mahasiswa diluar istana; kedua, presiden mendelegasikan seorang stafnya untuk menemui mahasiswa diluar istana; ketiga, beberapa perwakilan mahasiswa dipersilahkan masuk ke istana sebagai perwakilan untuk menemui presiden dan menyampaikan tuntutannya langsung di depan presiden; keempat, membubarkan paksa aksi demonstrasi tersebut; kelima, diam atau tidak melakukan apa-apa. Diantara beberapa opsi kebijakan tersebut, pemerintah memilih opsi kelima, yaitu diam. Dengan kata lain, output dari proses decision making yang telah dilakukan adalah diam. Melalui logika ini, bisa dipahami bahwa diam juga merupakan sebuah kebijakan publik.

Dalam sebuah pengambilan kebijakan, perlu diperhitungkan seberapa besar cost and benefit-nya. Pengertian cost and benefit disini bukan hanya yang menyangkut materi atau uang, melainkan juga menyangkut aspek sosial, politik, budaya, dsb. Jangan sampai kebijakan yang diambil membutuhkan cost yang lebih besar daripada benefit­-nya. Jika hal itu yang terjadi, bukan tidak mungkin kebijakan yang diambil tidak berhasil dan tidak bisa berjalan dengan baik, bahkan yang lebih parah, bisa menimbulkan kerugian bagi si pengambil kebijakan. Sifat kebijakan publik adalah makro, artinya sebuah kebijakan tidak untuk mengurus hal-hal yang teknis. Urusan-urusan teknis diurus oleh para pelaksana yang tertuang dalam petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Dalam pelaksanaannya, umumnya sebuah kebijakan tidak selalu berjalan dengan mulus, banyak masalah yang kemudian timbul di tengah jalan dan menuntut perhatian pemerintah. Dalam hal ini, biasanya pemerintah menegluarkan kebijaksanaan, seperti bujukan, negosiasi, tawar menawar, dsb. Hal ini juga merupakan kebijakan, yaitu kebijakan yang diambil dengan memberi kebijaksanaan.

Proses Kebijakan Publik

Sebuah kebijakan publik, pasti melalui tiga tahapan, yaitu formulasi, implementasi, dan evaluasi. Kebijakan pada awalnya diformulasikan, atau bahasa lainnya “digodok” oleh para pengambil kebijakan. Pada tahap ini, aktor-aktor yang berperan umumnya adalah pihak eksekutif dan legislatif. Mereka bertindak sebagai perumus kebijakan yang akan dikeluarkan. Dalam tahap formulasi ini, umumnya banyak sekali ditemui unsur-unsur politis seperti lobby-lobby politik, tawar menawar, negosiasi, dll. Agaknya bisa dipahami mengapa dalam tahap ini mengandung banyak intrik politik, karena para perumus kebijakan memiliki kepentingan masing-masing--yang ingin terus mereka pertahankan--terhadap sebuah kebijakan yang akan dibuat tersebut, bisa karena ada kepentingan partai,kepentingan kekuasaan, dll.

Tahap kedua dari sebuah proses kebijakan adalah tahap pelaksanaan atau implementasi. Dalam tahap ini, unsur-unsur politis mulai berkurang, namun masih tetap ada. Jika boleh dipersentasikan, antara aspek politis dengan aspek administratif bernilai 50%-50%, atau seimbang. Contoh aspek politis dari tahap ini adalah misalnya ketika pemilihan developer dari sebuah proyek. Para pelaksana kebijakan bisa saja memilih dari keluarganya, kerabat dekatnya, temannya, dll.

Tahap terakhir dari sebuah kebijakan adalah evaluasi. Dalam tahap ini, aspek administratif sudah mendominasi proses kebijakan, walaupun masih ada sedikir aspek politis. Unsur politis dari tahap ini umumnya biasa kita kenal dengan istilah “asal bapak senang”. Maksudnya adalah membuat laporan kegiatan atau evaluasi dengan hanya memasukkan hal-hal yang baik dan bagus saja tanpa memasukkan hal-hal yang memang harus dievaluasi. Intinya, hanya berpikir untuk menyenangkan atasan saja, tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Pemikiran Politik Indonesia Masa Pergerakan

Pemikiran politik masa pergerakan dimulai dari munculnya Budi Utomo pada tahun 1908. Lahirnya organisasi ini merupakan tonggak awal pergerakan bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Setelah munculnya Budi Utomo, mulailah muncul organisasi-organisasi lainnya yang juga berpikiran untuk melawan penjajahan. Namun, yang perlu dicatat adalah ketika itu organisasi-organisasi yang didirikan masih menamakan etnik/suku bangsanya masing-masing, bukan atas nama Indonesia. Hal ini terbukti dari adanya organisasi-organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatrenan Bond, dan lainnya. Semangat pergerakan ini sendiri mulai muncul semenjak runtuhnya “mitos kulit putih”, dimana ada anggapan bahwa orang kulit putih adalah merupakan yang terkuat, super power, dan tidak bisa dikalahkan. Anggapan ini hancur setelah kemenangan Jepang atas Rusia di perang dunia, sehingga hal tersebut memicu semangat dari para pemuda Indonesia untuk berjuang.

Definisi Bangsa dan Implikasinya

Ketika masa-masa pergerakan, belum dikenal istilah nation-state yang kita artikan seperti sekarang. Saat itu, pengertian bangsa diidentikkan dengan etnik. Dari hal ini bisa dimenegrti bahwa ketika itu perjuangan melawan kolonial masih terkotak-kotak, atau dengan kata lain perjuangannya masih sendiri-sendiri, berdasarkan etnik. Pengertian bangsa sebagai etnik ditambahkan oleh Rennan & Bauer dengan adanya karekter. Artinya, bangsa merupakan sekelompok orang yang mempunyai pengalaman politik yang sama dan berusaha mempertahankan, kelompok, karakter, dan daerahnya. Pendifinisian ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa ketika itu. Akan tetapi, menurut Soekarno, pendefinisian tadi belum sempurna karena belum memasukkan unsur tempat atau geopolitik yang harus dipertahankan sampai mati.

Pemikiran Soekarno ini memicu reaksi dari tokoh seperti Agus Salim, dan tokoh-tokoh Islam lainnya. Mereka menganggap bahwa pemikiran seperti itu sama saja dengan bentuk penyembahan berhala terhadap negara. Perdebatan inilah yang pada akhirnya memicu polemik antara agama dan negara, khusunya yang terjadi disekitar era ‘30an dan ‘40an, ketika penentuan apa yang menjadi dasar negara saat Indonesia menjelang kemerdekaannya. Dalam polemik ini, timbul dua kubu yang saling mempertahankan argumennya masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari tokoh-tokoh Islam seperti Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, M. Natsir, dan A. Hasan. Kelompok ini menyatakan bahwa agama dengan negara merupakan kesatuan yang integral dan tidak bisa dipisahkan. Namun, kelompok lain--yaitu Soekarno dan pendukung paham nasionalis lainnya--beranggapan bahwa agama dan politik tidak bisa disatukan, mereka terpisah satu sama lain. Agaknya pemikiran Soekarno ini diperngaruhi oleh pemikiran dari Kemal Ataturk, Bhipir Chandra Boze, Syekh A. Raziq, Musthafa Kamil, Halida Edib Hanow, Sun Yat Sen, dll.

Para Pemikir Islam

Menurut Agus Salim, dasar negara yang nasionalis hanya akan menimbulkan chauvinisme atau nasionalisme sempit. Ini didasarkan atas adanya peperangan yang terjadi di Eropa Barat karena perebutan daerah ekspansi industri. Adanya akspansi ini didasarkan adanya rasa chauvinisme di kalangan negara-negara Barat ketika itu. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Agus Salim. Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa cinta bangsa seharusnya diwujudkan dengan mendahulukan kepentingan bangsanya, seperti perbaikan ekonomi, politik, dsb, bukan dengan membela negara sampai mati dan mengesampingkan aspek-aspek lainnya.

Lain halnya dengan HOS Tjokroaminoto. Pemikir ini agaknya lebih moderat, karena memperbolehkan dasar negara berasas nasionalisme atau kebangsaan, namun dengan catatan tidak boleh sampai pada tahap chauvinisme. Pandangan ini sangat berbeda dengan pemikiran A. Hasan yang mengatakan bahwa paham kebangsaan atau nasionalisme dilarang dalam Islam dan hukumnya haram, dosa jika dilakukan. Pemikiran ini didasarkan pada pemahaman bahwa dalam Islam yang dipentingkan adalah kebersamaan umat, bukan konsep negara yang memiliki sekat-sekat dan batas-batas kewilayahan.

Dalam hal tanggapan terhadap pemikiran Soekarno yang nasionalis, Natsir beranggapan bahwa Soekarno kagum terhadap Kemal Ataturk yang bisa merubah Turki menjadi negara modern setelah keterpurukannya dimasa dinasti Usmaniyah, sampai-sampai dimasa itu Turki dijuluki the sick man of Europe. Keberhasilan Kemal yang membuat Turki menjadi bangkit itulah yang menjadi salah satu inspirator Soekarno untuk berpikir sekuler, atau memisahkan agama dan negara. Akan tetapi, menurut Natsir, dinasti Usmani ketika itu tidaklah mencerminkan Islam yang sesugguhnya. Terpuruknya dinasti Usmani dikarenakan kesewenang-wenangan peguasa yang berkuasa ketika itu. Jadi anggapan bahwa Turki menjadi terpuruk karena adanya penyatuan antara negara dan agama merupakan anggapan yang keliru.

Para pemikir Islam masa pergerakan umumnya menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, bukan nasionalisme, atau yang lainnya. Namun, ide-ide dan pemikiran mereka terganjal karena sang penguasa ketika itu, Soekarno, lebih menginginkan nasionalisme yang menjadi dasar negara, yang dimanifestasikan dalam bentuk Pancasila.

Para Pemikir Kebangsaan/Nasionalis

Menurut Syekh Abdul, dalam sumber hukum Islam, tidak ada perintah untuk membuat negara Islam. Pemikiran ini agaknya memang benar karena di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits tidak diatur tentang bagaimana seharusnya sebuah negara, atau dengan kata lain memang tidak ada perintah untuk membangun sebuah negara Islam. Hal ini berbeda dengan pemikir sekuler lainnya seperti Bipir Chandra Boze dan Sun Yat Sen, yang merupakan pejuang kaum tertidas, sehingaa semangat nasionalisme mereka benar-benar tinggi. Lain lagi dengan pemikiran dari Halida Edib Hanow dan Mustafa Kamil yang mengatakan bahwa saat ini bukan zamannya lagi kekhalifahan, melainkan sekarang adalah zaman nasionalisme.

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ada kelompok pemikir yang tidak menginginkan pencampuran unsur agama dan negara. Pemikiran inilah yang diadopsi oleh Soekarno dalam meletakkan pondasi bagi bangsa Indonesia. Inspirasi tentang pemikiran ini didapat dari beberapa tokoh sekulerisme yang telah disebutkan diatas. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah prinsip nasionalisme yang dikembangkan oleh Soekarno adalah humanisme, bukan chauvinisme. Jadi Soekarno tetap mementingkan nilai-nilai kemanusiaan dalam prinsip nasionalismenya.

Pemikiran Soekarno inilah yang akhirnya “memenangkan” polemik tentang apa yang menjadi dasar bagi negara Indonesia. Dalam konstitusi, diatur bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Namun, perdebatan tersebut kembali memanas ketika perumusan kembali konstitusi dalam konstituante untuk mengganti UUDS 1950. Perdebatan sengit kembali terjadi dalam meja konstituante yang pada akhirnya dibubarkan oleh Soekarno melalui dekrit karena dianggap tidak mampu menyelesaikan tugas untuk merumuskan konstitusi baru. Akhirnya, berdasarkan dekrit pula, konstitusi kembali ke UUD 1945, dan dengan kata lain dasar negara tetap Pancasila. Ini menyebabkan kekecewaan para kaum pro Islam yang pada akhirnya nanti muncullah gerakan-gerakan ekstrimis Islam yang radikal, seperti DI/TII.