Selasa, 24 Januari 2012

Pemikiran Amien Rais Sebagai Refleksi Kritis Terhadap Orde Baru

I. Pendahuluan

Reformasi !! Itulah pekikan yang sering terdengar di sekitar tahun 1997 sampai 1998. Apa sebabnya ? Rezim orde baru yang telah berumur 32 tahun sudah “lelah” menguasai negeri ini. Kekuasaan otoriter tersebut telah membuat rakyat kehilangan hak-hak politiknya. Media masa dibatasi, hak-hak berbicara dan berpendapat dikebiri. Pihak oposisi dibasmi, dan para pemberontak rezim dihabisi. Prestasi-prestasi ekonomi yang berhasil diraih oleh orde baru nyatanya harus mengorbankan partisipasi rakyat dalam hal politik.

Lalu pertanyaannya, dari mana muncul ide reformasi tadi ? Siapa yang berani bersuara lantang kepada pemerintah di tengah suasana yang penuh pengekangan ? Dialah Prof. Dr. H. M. Amien Rais, seorang pro demokrasi yang sangat kritis, yang “rajin” melontarkan kritik-kritik tajam kepada status quo ketika itu. Keberaniannya memulai dobrakan dan perubahan patut diacungi jempol, dan karena keberaniannya itulah reformasi ada.

Makalah ini akan mengkaji pemikiran Amien Rais yang berkaitan dengan orde baru, khususnya tentang suksesi kepemimpinan. Oleh karena itu, pertanyaan yang coba dijawab adalah bagaimana pemikiran Amien Rais tentang orde baru ? dan bagaimana pemikirannya tentang suksesi kepemimpinan ? Tujuannya adalah agar pembaca dapat mengerti bagaimana sebenarnya pemikiran “sang reformis” ini tentang orde baru, termasuk ide-ide yang beliau lontarkan untuk perubahan, khususnya suksesi kepemimpinan. Selain itu, untuk bisa memahami pemikiran tersebut secara holistik dan komprehensif, akan dibahas juga mengenai keadaan sosio-historis orde baru, dan sedikit mengenai biografi Amien Rais.

II. Pembahasan

2.1 Keadaan Sosio-Historis Orde Baru

Ketika ingin membahas pemikiran seseorang—apalagi yang berkaitan dengan sebuah rezim—tentunya kita tidak bisa lepas dari konteks sosio-historis yang melatarbelakangi pemikirannya. Pemikiran seorang Amien Rais muncul pada saat rezim orde baru sedang berkuasa. Pada masa awal, rezim orde baru memang menunjukkan prestasi yang cukup gemilang di sektor ekonomi. Dari segi laju pertumbuhan ekonomi, data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 1985 sampai 1996 rata-rata 7,72 %, dengan tingkat inflasi dibawah dua digit. Swasembada beras pun bisa dilakukan, dan diakui oleh FAO pada tahun 1984, yang akhirnya membuat Soeharto mendapatkan penghargaan atas prestasi tersebut . Dari beberapa contoh ini tidak heran jika Bank Dunia menjadikan Indonesia sebagai “model sukses pembangunan”.

Akan tetapi, semua itu seolah sirna ketika muncul krisis moneter tahun 1997 yang diawali di Thailand. Krisis ini mendapat dampak yang sangat negatif bagi negara-negara di Asia, khususnya Indonesia yang ketika itu sebenarnya juga sedang diwarnai oleh KKN, patronase, dan penumpukkan modal di kalangan elit di tengah rakyat yang mulai menderita karena harga barang meroket.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pencapaian ekonomi tadi harus mengorbankan hak-hak politik rakyat demi stabilitas. Adanya kebijakan-kebijakan seperti floating mass, pembatasan pers, monoloyalitas, fusi partai, asas tunggal, monopoli penafsiran Pancasila dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) , dsb merupakan cara-cara orde baru untuk menciptakan stabilitas politik. Belum lagi fungsi kontrol dari DPR yang macet ketika itu membuat rezim ini semakin corrupt.

2.2 Biografi Singkat Amien Rais

Prof. Dr. H. M. Amien Rais merupakan putra kedua dari enam bersaudara. Seorang doktor politik lulusan Chicago University ini lahir pada tanggal 26 April 1944 di kota Solo. Amien kecil dididik dalam lingkungan keluarga yang sangat taat beragama. Latar belakang keagamaan yang kuat ini membuat pola pikir, tindakan, dan perilaku Amien pun tidak lepas unsur-unsur Islam. Keikutsertaannya dalam Muhammadiyah sejak kecil pun juga membuatnya menjadi seorang yang sangat teguh menjalankan nilai-nilai agama.

Sifat disiplin, rasional, dan amar ma’ruf nahi munkar selalu ditekankan dalam keluarganya. Hal yang menarik dan selalu mempengaruhi pola pikir Amien adalah prinsip amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Prinsip inilah yang sangat dipegang oleh Amien Rais dan membuatnya berani melakukan kritik, terutama dalam karir politiknya nanti. Ketaatannya dalam beragama dan keimanannya yang kokoh membuatnya tetap teguh menjalankan prinsip ini walaupun ditengah situasi yang sulit dan hampir tidak memungkinkan seperti pada masa orde baru.

2.3 Kritik Amien Rais Terhadap Orde Baru (Aspek Politik dan Ekonomi)

Sebagai seorang ilmuwan politik yang belajar dan mengerti tentang esensi demokrasi, pastilah seorang Amien Rais melayangkan kritiknya kepada orde baru yang mengklaim bahwa sistem yang dipergunakan adalah demokrasi Pancasila. Bagi Amien Rais, sistem yang dikembangkan saat orde baru merupakan sebuah tafsiran yang salah terhadap demokrasi Pancasila. Demokrasi yang berkembang ketika orde baru hanyalah pada aspek formatnya saja, bukan substansinya. Pemikiran seperti ini nampaknya terpengaruh dari teori politik tentang demokrasi yang mengatakan bahwa demokrasi terbagi menjadi dua, yaitu struktural dan kultural.

Dari segi pemilihan umum contohnya. Amien mencermati dengan seksama mengenai political turnout atau jumlah orang yang mengunjungi TPS di setiap pemilu. Secara kasat mata, partisipasi politik rakyat di Indonesia sangatlah tinggi karena tingkat political turnout bisa mencapai angka 90 %. Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara demokrasi, seperti Amerika Serikat misalnya. Di Amerika Serikat, tingkat political turnout hanya mencapai angka 60 % saja. Secara kasat mata, dan dengan pemikiran yang pendek, bisa dikatakan bahwa Indonesia lebih demokratis daripada Amerika, karena partisipasi rakyat dalam pemilu jauh lebih tinggi di Indonesia daripada Amerika Serikat. Namun, tidak demikian bagi Amien. Sebagai ilmuwan politik, Amien langsung dengan cepat menemukan kejanggalan disini. Menurutnya, tingkat political turnout yang tinggi di Indonesia bukan disebabkan karena rakyat itu sendiri, melainkan pemerintahlah yang “mewajibkan” rakyat untuk memilih—Golkar—dalam pemilu. Dengan kata lain, ketika itu yang terjadi adalah pasrtisipasi mobilisasi, bukan partisipasi otonom.

Nyatanya benar, dari 6 kali pemilu yang telah dilaksanakan selama rezim orde baru, Golkar selalu mendapat suara lebih dari 60%, dan memang ini adalah sebuah keanehan yang hampir tidak mungkin terjadi di sebuah negara demokrasi. Amien berpendapat bahwa memang secara struktural pemilu terselenggara. Namun secara substansial, yang terjadi hanyalah pemilu “rekayasa”, karena hasil dari pemilu sudah dapat ditebak, pasti Golkarlah yang keluar sebagai pemenang.

Selain dalam hal politik, Amien juga mengkritik praktek ekonomi orde baru yang menurutnya hanya mengejar pertumbuhan semata, tanpa memperhatikan pemerataan. Perumbuhan berhasil diraih, tapi kemiskinan semakin merajalela. Pembangunan bisa berjalan, tapi korupsi tumbuh subur, bahkan semakin pelik. Penumpukkan kekayaan oleh kaum elit pun terus berlangsung sejak lama. Belum lagi sumber daya alam bangsa yang nyatanya harus dinikmati oleh pihak asing. Semua ini mendorong Amien untuk menggelontorkan ide perubahan yang dimulai dengan suksesi kepememimpinan.

2.4 Ide Suksesi Kepemimpinan

Pemikiran seorang Amien Rais yang paling menarik dan yang paling menjadi pusat perhatian banyak kalangan adalah gagasannya tentang suksesi kepemimpinan orde baru. Jika dicermati, gagasannya tentang suksesi bukanlah sesuatu yang baru, karena sebenarnya disekitar tahun 1989 sudah ada “celetukan-celetukan” untuk mengadakan suksesi kepemimpinan, namun memang sifatnya masih tersirat. Sudomo misalnya, yang ketika tahun 1989 menjadi Menkopolkam mulai mengetengahkan isu tentang konsensus mengenai calon Presiden di SU MPR 1993 bisa lebih dari satu. Ide Sudomo ini ternyata menjadi trigger pemberitaan media massa disekitar bulan April-Juni tahun 1989, satu tahun setelah Presiden Soeharto dilantik untuk yang kelima kalinya. Hal ini pun memicu pembicaraan-pembicaraan mengenai suksesi di kalangan politisi, akademisi, dsb. Namun, semua itu kembali tenggelam di bawah kekuasaan otoritatif orde baru yang begitu membatasi pers dan kebebasan berpendapat.

Penggelontoran ide suksesi kepemimpinan di ranah publik oleh Amien Rais pertama kali dilakukan pada sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1993. Ide-ide mengenai suksesi kepemimpinan, ia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul “Suksesi 1998: Suatu Keharusan” . Tulisan yang dibuatnya tahun 1993 itu cukup menggemparkan banyak kalangan, karena tulisan tersebut jelas-jelas membicarakan mengenai pentingnya suksesi, bahkan sampai pada mekanismenya—walaupun belum terlalu jelas. Ide inilah yang kemudian mengundang banyak sekali tanggapan di kalangan para politisi, masyarakat, pejabat, birokrat, dll.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tulisan yang dibuatnya itu merupakan upaya demokratisasi sistem politik Indonesia. Bagaimana caranya ? Cara yang pertama kali harus ditempuh adalah dengan melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan nasional di semua lini pemerintahan. Sebagai contoh misalnya tentang mekanisme suksesi Presiden. Ia mengatakan bahwa ada dua mekanisme yang bisa ditempuh untuk menjalankan suksesi. Pertama, dengan mengubah sistem pemilu, dan kedua, dengan melakukan “Dialog Nasional”.

Amien adalah seorang yang taat hukum dan konstitusionalis. Ia sadar bahwa sistem pemilu yang berlaku di Indonesia saat itu tidak demokratis, dan harus dirubah. Dalam posisinya sebagai ketua PP Muhammadiyah ketika itu, tentu bukan dalam kapasitasnya untuk mengubah sistem pemilu karena bisa dicap sebagai tindakan yang melawan konstitusi. Oleh karena itu, sebagai orang yang taat hukum dan menekankan prinsip rule of law, ia berpendapat bahwa mekanisme suksesi yang pertama sangat sulit dilakukan karena hal tersebut berarti harus mengubah konstitusi.

Hal yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan, menurutnya, adalah dengan mengadakan “Dialog Nasional”. Inti dari Dialog Nasional adalah mengembalikan fungsi MPR kepada jalur yang benar yaitu sebagai wakil dari seluruh rakyat yang akan selalu mendengar apa aspirasi dari rakyat. Dikatakan “mengembalikan kepada jalur yang benar” karena selama rezim orde baru, praktis lembaga perwakilan ini mengalami disfungsi. Aspirasi masyarakat grass root tidak didengar, dan semua proses politik bersifat elitis. Karena itu, bisa dipahami bahwa kata-kata “dialog” yang dimaksud oleh Amien adalah sebuah diskusi publik antara anggota MPR dengan seluruh eksponen masyarakat dalam rangka mendengar aspirasi mereka yang selama ini terabaikan.

Lalu, bagaimana kaitan antara dialog dengan suksesi ? Logika Amien sebenarnya sederhana. Setelah MPR mendengar aspirasi riil dari masyarakat, maka MPR bisa menyusun sebuah agenda nasional yang berisi pokok-pokok permasalahan bangsa dan strategi untuk menanganinya. Selanjutnya, bisa dipersiapkan siapa kira-kira calon-calon pemimpin yang cocok dan mampu melaksanakan agenda tersebut dengan program-program yang baru dan segar. Dengan kata lain, dibutuhkan seorang pemimpin baru yang harus menggantikan Soeharto. Ini menjadi penting karena Soeharto telah berkuasa selama puluhan tahun ditengah perkembangan zaman yang semakin kompleks. Banyak program-program orde baru yang menurut Amien sudah tidak sesuai dengan zaman dan bisa dianggap “usang”. Karena itulah butuh penyegaran dan rotasi agar pemimpin yang selanjutnya bisa membawa Indonesia menjawab tantangan-tantangan baru.

Menarik untuk diketahui, nampaknya Amien sangat terinspirasi gaya pemilu Amerika Serikat yang mengadakan sebuah “debat antar calon presiden”, dimana publik bisa melihat kualitas masing-masing calon. Dalam pemikiran Amien, setelah calon-calon presiden dipersiapkan oleh masing-masing kekuatan sosial-politik di MPR (ABRI, Golkar, dan parpol), calon-calon tersebut perlu diuji kepiawaiannya di depan publik. Awalnya Amien menginginkan suatu debat publik antar calon presiden yang ditayangkan di televisi—seperti yang dilihatnya di Amerika Serikat. Namun, karena ketika itu suasananya masih sangat tabu untuk membicarakan pemimpin nasional, maka ia menyarankan dengan membuat semacam seminar, simposium, dan sejenisnya yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik tadi.

Perlu dipahami, dialog ini sejatinya bukan hanya semata-mata untuk mencari pemimpin baru, lalu selesai. Namun, disini terlihat ke-visioner-an seorang Amien Rais dimana ia memandang Dialog Nasional sebagai sarana untuk memecahkan permasalahan bangsa yang kian pelik. Menurutnya:

“Kita harus mampu membuat agenda yang konkret. Masalah-masalah yang besar bangsa ini sebenarnya apa. Kemudian dengan problematika yang jelas di masa depan, pemimpin nasional kemudian bisa dituntun ke arah mana ia bisa memimpin bangsa ini. Jadi bukan sekedar kekuasaan demi kekuasaan. Tetapi, kekuasaan demi pemecahan masalah-masalah bangsa”.

Akan tetapi, gagasan Dialog Nasional ini ternyata hanya menjadi khayalan belaka, karena gagasan ini tidak bisa terealisasi, dan hanya sebatas wacana. Namun, ternyata Amien Rais bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Gagasan “Dialog Nasional”-nya gagal, ia menjawab dengan gagasan lain, yaitu “Sarasehan Antargenerasi”. Inti dari sarasehan ini sama dengan Dialog Nasional, yaitu diskusi untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat. Setelah sarasehan ini dilakukan, maka hasilnya bisa diserahkan kepada MPR sebagai masukan untuk melakukan SU. Sayangnya, kegiatan ini pun tidak berjalan.

2.5 Mengapa Amien yang Menjadi Pionir ?
Pertanyaan menariknya adalah mengapa justru Amien lah yang menjadi pionir perubahan ? Padahal banyak tokoh lain yang menggelontorkan ide-ide perubahan. Jika dianalisa, setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan hal tersebut: Pertama, situasi orde baru yang sudah semakin keropos karena hantaman krisis ekonomi. Sebagaimana kita ketahui, faktor utama yang membuat langgengnya pemerintahan orde baru adalah ekonomi. Selama hampir 30 tahun lamanya kebebasan politik rakyat direnggut, tetapi kompensasinya adalah pertumbuhan ekonomi. Maka logikanya, jika sisi ekonomi orde baru mengalami masalah, tentunya rakyat akan kecewa karena tidak ada lagi kompensasi yang diberikan atas direnggutnya hak-hak politik mereka. Amien menggelontorkan ide suksesi ditengah keadaan yang seperti tadi, maka jadilah ia merupakan seorang tokoh yang sangat dipuja sebagai reformis kala itu.

Kedua, keberanian untuk bersuara lantang dan konsisten. Satu hal yang patut dicermati dari diri Amien adalah sikapnya yang sangat berani bersuara lantang. Sebagaimana telah disunggung sebelumnya, ide suksesi sebenarnya sudah ada sebelum Amien Rais menggelontorkannya pada Tanwir Muhammadiyah 1993. Akan tetapi, semua itu hanya “celetukan-celetukan” kecil yang mudah tersapu oleh kekuatan rezim. Rezim yang kuat perlu “pemberontakan” yang kuat pula, dan Amien melakukan itu melalui pemikiran dan keberaniannya bersuara lantang kepada pemerintah di ranah-ranah publik, seperti diskusi, seminar, media, dll. Keberanian ini muncul karena ia sangat teguh memegang prinsip amar ma’ruf nahi munkar, sehingga jika ia menemukan sebuah kedzaliman, apapun rintangannya, harus dicegah apapun resikonya. Pendapat ini diperkuat dengan perkataan seorang Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif dalam sebuah wawancara dengan wartawan Kompas. Wartawan bertanya: “Mengapa Amien Rais punya keberanian mengungkap itu (suksesi kepemimpinan) terus?”. Syafi’i Ma’arif menjawab dengan:
“Saya rasa (karena) ajaran Tauhid yang dipahaminya, doktrin amar ma’ruf nahi munkar yang dipahaminya. Itu landasan teologis dan filosofinya. Kalau kita benar-benar berpegang pada ajaran Tauhid dan amar ma’ruf nahi munkar, saya yakin akan muncul Amien Rais yang lain…”

Ketiga, posisinya sebagai ekstern pemerintahan. Sebagaimana diketahui, Amien adalah seorang tokoh Muhammadiyah dan sempat menjadi ketua PP Muhammadiyah tahun 1995-1998. Memang ketua PP Muhammadiyah selalu mendapat kursi di MPR, seperti A. R. Fachrudin, Ahmad Basyir, dll. Namun, tidak untuk Amien. Amien dengan tegas tidak bersedia untuk duduk di kursi MPR setelah pemilu 1997. Terkesan Amien sangat idealis, namun itulah yang menjadi poin plus baginya. Dengan berada di luar lingkup pemerintahan, Amien bisa dengan leluasa—walaupun tidak sepenuhnya—untuk bersuara lantang. Menkopolkam Sudomo langsung mendapat teguran keras dari pemerintah ketika menggulirkan ide tentang konsensus mengenai calon Presiden di SU MPR 1993 bisa lebih dari satu—yang akhirnya membuatnya harus meminta maaf kepada Presiden Soeharto. Apabila Amien merupakan intern pemerintahan, entah itu eksekutif ataupun legislatif, dapat dipastikan nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan Sudomo.

III. Kesimpulan


Sebagai seorang political scientist yang pro demokrasi, Amien dengan lantang mengkritik pemerintahan orde baru yang otoriter, represif, dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Nyatanya benar, di awal tahun 90-an, kebobrokan rezim orde baru mulai tampak ke permukaan, seperti suburnya korupsi, patronase, kemiskinan yang merajalela, penumpukan kekayaan para elit, pernguasaan sumber daya bangsa oleh pihak asing, dll.

Tidak hanya berhenti sampai megkritik saja, Amien pun juga mencetuskan gagasan yang menjadikan dirinya sebagai pionir dalam reformasi, yaitu suksesi kepemimpinan. Meskipun bukan sebuah gagasan yang baru, namun keberaniannya untuk menggelontorkan ide ini patut diacungi jempol, mengingat rezim saat itu sangat kuat dan represif.
Memang idenya tadi gagal direalisasikan, namun bukan berarti perjuangan Amien terhenti. Ia terus menggulirkan isu-isu pergantian kepemimpinan, sampai akhirnya Soeharto lengser dari posisinya setelah selama 32 tahun menguasai negri ini. Perubahan tersebut akhirnya telah mendorong Indonesia memasuki fase demokratisasi, terlebih ketika Amien dipercaya memimpin MPR di tahun 1999-2004.


Daftar Pustaka

Arie, Iman Karmawan, ed., 1999. Cikal Bakal Kepemimpinan Amien Rais: Legenda Reformasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Bahar, Ahmad, dan Taufik Alimi, ed., 1998. Amien Rais Berjuang Menuntut Perubahan. Yogyakarta: Pena Cendekia

Dewi, A. S., dan Lazuardi A. Sage. 2006. Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto. Jakarta: Jakarta Citra

Fatah, Eep Saefulloh. 2010. Konflik, Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru. Jakarta: Burungmerak Press

Hisyam, Muhammad, ed., 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Ikhsan, M., C. Manning, dan Hadi Soesastro, ed., 2002. 80 Tahun Mohammad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru, (Cet.1). Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Najib, Muhammad, dan Kuat Sukardiyono. 1998. Amien Rais Sang Demokrat. Jakarta: Gema Insani Press

____, ed., 1998. Suara Amien Rais Suara Rakyat. Jakarta: Gema Insani Press

Simanungkalit, Salomo, ed., 2002. Indonesia Dalam Krisis 1997 – 2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-Dosa Politik Orde Baru. Jakarta: Penerbit Djambatan