Jumat, 13 Januari 2012

Desentralisasi dan Tipologinya

Reformasi tahun 1998 sungguh telah membuat banyak perubahan di Indonesia. Gelombang demokratisasi yang telah memasuki Indonesai kala itu agaknya memiliki sumbangsih yang nyata terhdap dinamika perjalanan pemerintahan di Indonesia. Maraknya jumlah parpol, kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan sebagainya agaknya memiliki “hutang budi” terhdap reformasi, karena dari sanalah akhirnya “mereka” lahir di bumi Indonesia. Termasuk desentralisasi yang selama lebih dari 30 tahun harus nihil dari pemerintahan Indonesia. Tulisan review dari chapter berjudul “The Rise of Local Government: An Overview” yang ditulis oleh Pranab Bardhan dan Dilip Mookherjee ini sedikit banyak akan mengulas mengenai apa itu desentralisasi, juga membandingkan proses desentralisasi di beberapa negara untuk kemudian membuat suatu generalisasi mengenai tipologi desenralisasi.

Konsep Desentralisasi

Dalam arti politik, desentralisasi dapat dilihat sebagai salah satu elemen penting dari demokrasi partisipatoris yang memungkinkan masyarakat mendapatkan kesempatan untuk mengkomunikasikan preferensi dan pandangan mereka kepada pejabat pemerintah terpilih, yang kemudian para pejabat ini harus bertanggung jawab atas pekerjaannya kepada masyarakat. Dari pengertian ini, nampaknya Bardhan dan Mookherjee mendefinisikan desentralisasi sebagai hubungan dua arah, yaitu antara rakyat dengan pemerintah, yang dihasilkan dari adanya demokrasi partisipatoris. Rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pejabat pemerintah melalui pemilu, dan pejabat terpilih pun harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukannya kepada rakyat.

Lalu, pertanyaan kemudian yang akan muncul adalah apa sebenarnya tujuan dari desentralisasi ? Setidaknya Bardhan dan Mookherjee mengajukan tiga alasan mengapa desentralisasi yang berarti partisipasipatoris menjadi hal yang penting dari sudut pandang politik. Pertama, tentu memberikan otonomi kepada rakyat, kedua, meningkatkan keteraturan sosial dengan cara meningkatkan legitimasi negara, dan ketiga, meminimalisir gerakan separatis. Pun dengan sudut pandang ekonomi. Tujuan utama desentralisasi dari sudut pandang ekonomi adalah meningkatkan akuntabilitas dan responsifitas pemerintah dalam hal memberikan barang dan jasa kepada masyarakat.

Namun pada prakteknya, desentralisasi ternyata belum bisa berjalan dengan baik, karena ada beberapa faktor. Dari kesemua faktor itu, ada tiga faktor utama yang setidaknya menyebabkan mengapa desentralisasi umumnya belum bisa berjalan dengan baik: (1) ketidakmampuan paemilih untuk mengkomunikasikan preferensi mereka secara intensif (2) Kesadaran pemilih yang asimetris dengan kehadiran pemilih, dan ketidakmampuan parpol untuk memobilisasi pemilih (3) Lemahnya kelompok kepentingan yang bisa mempengaruhi proses kebijakan. Ketiga faktor inilah yang kiranya menjadi proritas utama mengapa desentralisasi—khususnya di Indonesia—belum bisa berjalan dengan baik.

Cara untuk bisa mengukur apakah desentralisasi sudah berjalan dengan baik atau belum dapat dilihat dari 3 dimensi, menurut Bardhan dan Mookherjee. Dimensi pertama adalah pengaruh atau implikasi dari program-program pemerintah. Dimensi ini bertujuan untuk mengukur tingkat akuntabilitas dan responsifitas dari pemerintah. Dimensi kedua adalah konteks. Dalam dimensi ini fokus utamanya adalah sejauh mana demokrasi lokal atau demokrasi di daerah bisa berjalan. Hal ini diukur dari pola partisipasi politik dari kelompok masyarakat yang berbeda. Dimensi ketiga adalah bentuk desentralisasi itu sendiri, yang dilihat berdasarkan: otoritas dari konstitusi, proses pemilu, sejauh mana kewenangan/tanggung jawab yang dilimpahkan kepada pemerintah lokal (termasuk dalam hal keuangan), otoritas dan kompetensi pejabat Pemnerintah Daerah, dan mekanisme pemberian informasi dari Pemda kepada masyarakat.

Perbandingan Bentuk Desentralisasi

Dalam bahan bacaan, Bardhan dan Mookherjee melakukan studi perbandingan terhadap beberapa negara yang telah mengalami proses desentralisasi, diantaranya Brazil, Indonesia, Bolivia, India, Uganda, Pakistan, Cina, dan Afrika Selatan. Berdasarkan hasil studinya di beberapa negara ini, Bardhan dan Mookherjee mencoba melakukan proses induksi untuk membuat tipologi bentuk desentralisasi . Namun, sebelumnya, mereka membuat semacam pengelompokkan terlebih dahulu terhadap negara-negara tadi yang memiliki ciri transisi desentralisasi serupa. Hasilnya, mereka mendapatkan tiga kelompok yang berbeda, yaitu kelompok pertama (dicirikan dengan sebuah transisi tunggal dari sistem sentralisasi menuju desentralisasi), kelompok kedua (dicirikan dengan adanya tarik ulur proses desentralisasi), dan kelompok ketiga (dicirikan dengan perubahan bentuk desentralisasinya saja).

Pada kelompok pertama, Bardhan dan Mookherjee membuat sub kelompok lagi karena dirasa ada perbedaan yang cukup signifikan, namun masih dalam satu koridor transisi dari sistem sentralisasi menuju desentralisasi, utamanya mengenai pengaruhnya terhadap proses demokratisasi di level nasional. Sub kelompok pertama adalah desentralisasi menjadi bagian dari adanya proses demokratisasi pada level nasional yang salah satunya berimbas pada munculnya desentralisasi. Termasuk dalam sub kelompok ini adalah Brazil dan Indonesia. Sub kelompok kedua adalah dimana desentralisasi muncul karena adanya kekecewaan terhadap sistem pemerintah yang tersentralisasi, dan umumnya dipicu oleh adanya konflik politik, dengan demokratisasi yang tetap berjalan di level nasional.Sub kategori ini mencakup India dan Bolivia. Sub kelompok ketiga adalah Uganda, dimana sebenarnya tidak terjadi proses demokratisasi disana, dan desentralisasi hanya bertujuan untuk menkonsolidasikan kekuatan pemerintahan junta militer.

Kelompok kedua adalah negara-negara yang memiliki dinamika “tarik ulur” dalam proses desentralisasinya. Maksudnya adalah, pada waktu tertentu banyak kewenangan yang diberikan ke daerah (pemerintah lokal), namun pada waktu yang lain kewenangan-kewenangan tersebut dipangkas atau dikurangi. Tarik ulur tersebut umumnya dipengaruhi oleh konteks politik nasional yang bisa berbentuk antara deomkrasi hingga diktator. Pengelompokkan ini didasarkan atas pengamatan Bardhan dan Mookherjee terhdap dua negara, yaitu Pakistan dan Cina. Menurut mereka, kedua negara ini memiliki bentuk desentralisasi yang sama, yaitu “tarik ulur” kewenangan yang diberikan, tergantung dari konteks politk nasional—di Pakistan, dan pengalokasian insentif ekonomi—di Cina.

Kelompok ketiga adalah negara yang sebenarnya tidak mengalami bentuk perubahan dari yang tadinya sentralisasi menuju desentralisasi. Dalam kelompok ini, hanya bentuk desentralisasinya saja yang berubah, dan tidak berarti bahwa sistem sebelumnya tersentralisasi. Mudahnya sebelum dan seseudah transisi sama-sama bersistem desentralisasi, hanya bentuknya saja yang berubah dalam transisi itu. Contoh negara yang termasuk dalam kelompok ini adalah Afrika Selatan.

Pelru diapahami bahwa pengelompokkan yang dilakukan oleh Bardhan dan Mookherjee hanya melihat aspek transisi desentralisasinya saja, belum mencakup aspek yang lebih dalam misalnya penyebab desentralisasi secara lebih mendetail, besarnya lingkup desentrailisasi, dan apakah proses tersebut terjadi secara tiba-tiba atau gradual. Karena itu, lebih lanjut Bardhan dan Mookherjee menganalisa hal-hal tadi, dan kemudian sebagai tahap akhirnya membuat tipologi-tipologi desentralisasi berdasarkan konteks sosio-historis yang melatarbelakangi munculnya desentralisasi tersebut.

Tipologi Desentralisasi

Sebelum membuat tipologi berdasarkan konteks sosio-historis tadi, terlebih dahulu Bardhan dan Mookherjee mencoba menganalisa penyebab munculnya desentralisasi yang terjadi di masing-masing negara. Berdasarkan data yang mereka peroleh, faktor utama penyebab munculnya desentralisasi adalah pemberontakan terhadap rezim lama (incumbent) pada level nasional. Dari semua negara yang mereka teliti, faktor inilah yang menjadi meyoritas munculnya desentralisasi, pengecualian hanya di Cina dan Afrika Selatan. Alasan lainnya adalah karena adanya demokratisasi pada politik nasional, sehingga menyebabkan desentralisasi merupakan salah satu hasilnya; dan terakhir karena adanya faktor eksternal seperti krisis, tekanan pihak asing, dan faktor lain yang datangnya dari luar negara yang bersangkutan.

Selain penyebab, Bardhan dan Mookherjee juga menganalisa dari sudut pandang lain, yaitu proses terjadinya desentralisasi, apakah terjadi secara gradual (berangsur-angsur) atau secara tiba-tiba. Juga terakhir melihat dari sudut pandang besarnya kewenangan ekonomi yang diberikan dari pusat ke daerah. Dari sudut pandang proses terjadinya, mayoritas terjadi secara berangsur-angsur. Pun dalam sudut pandang kewenangan ekonomi, mayoritas hanya sebagian kecil kewenangan keuangan (finansial) yang dilimpahkan ke daerah.

Atas dasar ketiga hal tadi—penyebab desentralisasi, proses terjadinya desentralisasi, dan kewenangan ekonomi yang dilimpahkan—sebagai tahap akhir, Bardhan dan Mookherjee membuat 3 tipologi desentralisasi berdasarkan konteks sosio historisnya. Ketiga tipologi tersebut adalah : (1) Tipe A (“big bang decentralization”/desentralisasi yang sangat besar, komprehensif, dan dibarengi dengan pelimpahan kewenangan ekonomi juga politik), (2) Tipe B (Pelimpahan kewenangan politik secara komprehensif, namun parsial dalam pelimpahan ekonomi), (3) Tipei C (Pelimpahan kewenangan politik yang terbatas dengan pelimpahan kewenangan ekonomi yang cukup besar).

Desentralisasi tipe A mencakup desentralisasi yang terjadi di Indonesia, Bolivia. Proses desentralisasi yang terjadi di negara-negara ini disebut sebagai “big bang decentralization” atau yang dapat diartikan sebagai “desentralisasi besar-besaran”. Penyebab utama desentralisasi besar-besaran ini adalah adanya kekecewaan terhadap rezim lama yang tersentralisasi, dibarengi dengan tidak meratanya alokasi anggaran dan pennyejahteraan pemerintah kepada daerah-daerah. Hanya saja motifnya yang berbeda. Di Bolivia, diprakarsai oleh NRM, dan Indonesia didasari oleh adanya reformasi yang sejayinys adalah proses demokratisasi. Dalam hal kewenangan yang diberikan pun sangat besar di kedua negara ini, keduanya mencakup kewenangan politik dan ekonomi secara luas dan komprehensif.

Desentralisasi tipe B ditandai dengan adanya pelimpahan kewenangan secara luas dalam hal politi, namun terbatas dalam hal ekonomi. Contoh negara yang masuk dalam tipe ini adalah Brazil dan India. Karakteristik demokrasi sangat kental di kedua negara ini, dimana keduanya memiliki heterogenitas penduduk yang tinggi dan kesenjangan yang cukup lebar. Pelimpahan kewenangan politik dari pemerintah pusat kepada daerah di kedua negara ini sangat besar, ditandai dengan adanya pemilu langsung untuk memilih pemerintah lokal, dimana pertarungan antar partai sangat kental di dalamnya. Juga pemerintah daerah memiliki otoritas untuk membuat peraturannya sendiri.

Desentralisasi tipe C agaknya tidak berhubungan dengan demokrasi seperti yang nampak pada tipe A dan tipe B. Dalam tipe C, desentralisasi hanya sebagai alat atau instrumen untuk menkonsolidasikan dan meligitimasi kekuatan politik pada level nasional. Dari pengertian ini, kita bisa membuat justifikasi bahwa sebenarnya tujuan desentralisasi bukanlah keinginan untuk demokratisasi, namun lebih kepada penumpukkan kekuasan. Negara yang termasuk dalam tipe ini adalah Cina, Pakistan, dan Uganda. Ciri utama dari desentralisasi tipe ini adalah pemerintah lokal hanya merupakan subordinat atau kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, tidak memiliki hak—atau memiliki tapi sangat terbatas—untuk membuat peraturan sendiri (semacam Peraturan Daerah di Indonesia), dan mekanisme pemilihan pejabat pemrintahan yang tidak sepenuhnya dilakukan dengan pemilihan umum. Meskipun begitu, dalam hal ekonomi, kewenangan yang dilimpahkan dari pemerintah pusat ke daerah cukup besar, berbeda dengan tipe B. Jadi dalam tipe ini, kewenangan politik yang diberikan sangat terbatas, namun pelimpahan kewenangan ekonomi cukup besar dari pusat ke daerah.

Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa sebenarnya yang membuat pemerintah pusat “rela” memberikan atau melimpahkan sebagian wewenangnya kepada pemerintah lokal ? Bardhan dan Mookherjee menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang cukup beragam, tergantung dari motif dibalik terjadinya desentralisasi tersebut. Jawaban pertama adalah karena adanya gelombang demokratisasi di level nasional, sehingga agenda desentralisasi merupakan salah satu implikasi logis dari proses tadi. Ini dialami oleh Indonesia, Brazil dan Afrika Selatan. Jawaban kedua adalah karena rezim yang sedang berkuasa menghadapi tantangan dari meningkatnya kekuatan lokal dan partai politik. Kedua agen tersebut memanfaatkan momen kekecewaan terhadap ke-sentralisasi-an pemerintah untuk kemudian mencetuskan perubahan. Ini terjadi di Bolivia dan India. Jawaban ketiga adalah karena pemrintah pusat ingin mengkonsolidasikan kekuasaannya di itngkat lokal. Ini terjadi di negara-negara yang tergolong tipe C, yaitu Cina, Pakistan, dan Uganda.

Demikianlah ulasan singkat mengenai desentralisasi serta bentuk/tipe-tipe desentralisasi yang dibuat oleh Pranab Bardhan dan Dilip Mookherjee. Tesis utama dari hasil penelitian mereka adalah desentralisasi memiliki tiga tipe yang dilihat dari sudut pandang kewenangan yang diberikan, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C.Hasil studinya terhadap beberapa negara di dunia ini telah memberi sumbangsih yang cukup berharga bagi perkembangan teori desentralisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar