Selasa, 24 Januari 2012

Pemikiran Amien Rais Sebagai Refleksi Kritis Terhadap Orde Baru

I. Pendahuluan

Reformasi !! Itulah pekikan yang sering terdengar di sekitar tahun 1997 sampai 1998. Apa sebabnya ? Rezim orde baru yang telah berumur 32 tahun sudah “lelah” menguasai negeri ini. Kekuasaan otoriter tersebut telah membuat rakyat kehilangan hak-hak politiknya. Media masa dibatasi, hak-hak berbicara dan berpendapat dikebiri. Pihak oposisi dibasmi, dan para pemberontak rezim dihabisi. Prestasi-prestasi ekonomi yang berhasil diraih oleh orde baru nyatanya harus mengorbankan partisipasi rakyat dalam hal politik.

Lalu pertanyaannya, dari mana muncul ide reformasi tadi ? Siapa yang berani bersuara lantang kepada pemerintah di tengah suasana yang penuh pengekangan ? Dialah Prof. Dr. H. M. Amien Rais, seorang pro demokrasi yang sangat kritis, yang “rajin” melontarkan kritik-kritik tajam kepada status quo ketika itu. Keberaniannya memulai dobrakan dan perubahan patut diacungi jempol, dan karena keberaniannya itulah reformasi ada.

Makalah ini akan mengkaji pemikiran Amien Rais yang berkaitan dengan orde baru, khususnya tentang suksesi kepemimpinan. Oleh karena itu, pertanyaan yang coba dijawab adalah bagaimana pemikiran Amien Rais tentang orde baru ? dan bagaimana pemikirannya tentang suksesi kepemimpinan ? Tujuannya adalah agar pembaca dapat mengerti bagaimana sebenarnya pemikiran “sang reformis” ini tentang orde baru, termasuk ide-ide yang beliau lontarkan untuk perubahan, khususnya suksesi kepemimpinan. Selain itu, untuk bisa memahami pemikiran tersebut secara holistik dan komprehensif, akan dibahas juga mengenai keadaan sosio-historis orde baru, dan sedikit mengenai biografi Amien Rais.

II. Pembahasan

2.1 Keadaan Sosio-Historis Orde Baru

Ketika ingin membahas pemikiran seseorang—apalagi yang berkaitan dengan sebuah rezim—tentunya kita tidak bisa lepas dari konteks sosio-historis yang melatarbelakangi pemikirannya. Pemikiran seorang Amien Rais muncul pada saat rezim orde baru sedang berkuasa. Pada masa awal, rezim orde baru memang menunjukkan prestasi yang cukup gemilang di sektor ekonomi. Dari segi laju pertumbuhan ekonomi, data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 1985 sampai 1996 rata-rata 7,72 %, dengan tingkat inflasi dibawah dua digit. Swasembada beras pun bisa dilakukan, dan diakui oleh FAO pada tahun 1984, yang akhirnya membuat Soeharto mendapatkan penghargaan atas prestasi tersebut . Dari beberapa contoh ini tidak heran jika Bank Dunia menjadikan Indonesia sebagai “model sukses pembangunan”.

Akan tetapi, semua itu seolah sirna ketika muncul krisis moneter tahun 1997 yang diawali di Thailand. Krisis ini mendapat dampak yang sangat negatif bagi negara-negara di Asia, khususnya Indonesia yang ketika itu sebenarnya juga sedang diwarnai oleh KKN, patronase, dan penumpukkan modal di kalangan elit di tengah rakyat yang mulai menderita karena harga barang meroket.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pencapaian ekonomi tadi harus mengorbankan hak-hak politik rakyat demi stabilitas. Adanya kebijakan-kebijakan seperti floating mass, pembatasan pers, monoloyalitas, fusi partai, asas tunggal, monopoli penafsiran Pancasila dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) , dsb merupakan cara-cara orde baru untuk menciptakan stabilitas politik. Belum lagi fungsi kontrol dari DPR yang macet ketika itu membuat rezim ini semakin corrupt.

2.2 Biografi Singkat Amien Rais

Prof. Dr. H. M. Amien Rais merupakan putra kedua dari enam bersaudara. Seorang doktor politik lulusan Chicago University ini lahir pada tanggal 26 April 1944 di kota Solo. Amien kecil dididik dalam lingkungan keluarga yang sangat taat beragama. Latar belakang keagamaan yang kuat ini membuat pola pikir, tindakan, dan perilaku Amien pun tidak lepas unsur-unsur Islam. Keikutsertaannya dalam Muhammadiyah sejak kecil pun juga membuatnya menjadi seorang yang sangat teguh menjalankan nilai-nilai agama.

Sifat disiplin, rasional, dan amar ma’ruf nahi munkar selalu ditekankan dalam keluarganya. Hal yang menarik dan selalu mempengaruhi pola pikir Amien adalah prinsip amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Prinsip inilah yang sangat dipegang oleh Amien Rais dan membuatnya berani melakukan kritik, terutama dalam karir politiknya nanti. Ketaatannya dalam beragama dan keimanannya yang kokoh membuatnya tetap teguh menjalankan prinsip ini walaupun ditengah situasi yang sulit dan hampir tidak memungkinkan seperti pada masa orde baru.

2.3 Kritik Amien Rais Terhadap Orde Baru (Aspek Politik dan Ekonomi)

Sebagai seorang ilmuwan politik yang belajar dan mengerti tentang esensi demokrasi, pastilah seorang Amien Rais melayangkan kritiknya kepada orde baru yang mengklaim bahwa sistem yang dipergunakan adalah demokrasi Pancasila. Bagi Amien Rais, sistem yang dikembangkan saat orde baru merupakan sebuah tafsiran yang salah terhadap demokrasi Pancasila. Demokrasi yang berkembang ketika orde baru hanyalah pada aspek formatnya saja, bukan substansinya. Pemikiran seperti ini nampaknya terpengaruh dari teori politik tentang demokrasi yang mengatakan bahwa demokrasi terbagi menjadi dua, yaitu struktural dan kultural.

Dari segi pemilihan umum contohnya. Amien mencermati dengan seksama mengenai political turnout atau jumlah orang yang mengunjungi TPS di setiap pemilu. Secara kasat mata, partisipasi politik rakyat di Indonesia sangatlah tinggi karena tingkat political turnout bisa mencapai angka 90 %. Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara demokrasi, seperti Amerika Serikat misalnya. Di Amerika Serikat, tingkat political turnout hanya mencapai angka 60 % saja. Secara kasat mata, dan dengan pemikiran yang pendek, bisa dikatakan bahwa Indonesia lebih demokratis daripada Amerika, karena partisipasi rakyat dalam pemilu jauh lebih tinggi di Indonesia daripada Amerika Serikat. Namun, tidak demikian bagi Amien. Sebagai ilmuwan politik, Amien langsung dengan cepat menemukan kejanggalan disini. Menurutnya, tingkat political turnout yang tinggi di Indonesia bukan disebabkan karena rakyat itu sendiri, melainkan pemerintahlah yang “mewajibkan” rakyat untuk memilih—Golkar—dalam pemilu. Dengan kata lain, ketika itu yang terjadi adalah pasrtisipasi mobilisasi, bukan partisipasi otonom.

Nyatanya benar, dari 6 kali pemilu yang telah dilaksanakan selama rezim orde baru, Golkar selalu mendapat suara lebih dari 60%, dan memang ini adalah sebuah keanehan yang hampir tidak mungkin terjadi di sebuah negara demokrasi. Amien berpendapat bahwa memang secara struktural pemilu terselenggara. Namun secara substansial, yang terjadi hanyalah pemilu “rekayasa”, karena hasil dari pemilu sudah dapat ditebak, pasti Golkarlah yang keluar sebagai pemenang.

Selain dalam hal politik, Amien juga mengkritik praktek ekonomi orde baru yang menurutnya hanya mengejar pertumbuhan semata, tanpa memperhatikan pemerataan. Perumbuhan berhasil diraih, tapi kemiskinan semakin merajalela. Pembangunan bisa berjalan, tapi korupsi tumbuh subur, bahkan semakin pelik. Penumpukkan kekayaan oleh kaum elit pun terus berlangsung sejak lama. Belum lagi sumber daya alam bangsa yang nyatanya harus dinikmati oleh pihak asing. Semua ini mendorong Amien untuk menggelontorkan ide perubahan yang dimulai dengan suksesi kepememimpinan.

2.4 Ide Suksesi Kepemimpinan

Pemikiran seorang Amien Rais yang paling menarik dan yang paling menjadi pusat perhatian banyak kalangan adalah gagasannya tentang suksesi kepemimpinan orde baru. Jika dicermati, gagasannya tentang suksesi bukanlah sesuatu yang baru, karena sebenarnya disekitar tahun 1989 sudah ada “celetukan-celetukan” untuk mengadakan suksesi kepemimpinan, namun memang sifatnya masih tersirat. Sudomo misalnya, yang ketika tahun 1989 menjadi Menkopolkam mulai mengetengahkan isu tentang konsensus mengenai calon Presiden di SU MPR 1993 bisa lebih dari satu. Ide Sudomo ini ternyata menjadi trigger pemberitaan media massa disekitar bulan April-Juni tahun 1989, satu tahun setelah Presiden Soeharto dilantik untuk yang kelima kalinya. Hal ini pun memicu pembicaraan-pembicaraan mengenai suksesi di kalangan politisi, akademisi, dsb. Namun, semua itu kembali tenggelam di bawah kekuasaan otoritatif orde baru yang begitu membatasi pers dan kebebasan berpendapat.

Penggelontoran ide suksesi kepemimpinan di ranah publik oleh Amien Rais pertama kali dilakukan pada sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1993. Ide-ide mengenai suksesi kepemimpinan, ia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul “Suksesi 1998: Suatu Keharusan” . Tulisan yang dibuatnya tahun 1993 itu cukup menggemparkan banyak kalangan, karena tulisan tersebut jelas-jelas membicarakan mengenai pentingnya suksesi, bahkan sampai pada mekanismenya—walaupun belum terlalu jelas. Ide inilah yang kemudian mengundang banyak sekali tanggapan di kalangan para politisi, masyarakat, pejabat, birokrat, dll.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tulisan yang dibuatnya itu merupakan upaya demokratisasi sistem politik Indonesia. Bagaimana caranya ? Cara yang pertama kali harus ditempuh adalah dengan melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan nasional di semua lini pemerintahan. Sebagai contoh misalnya tentang mekanisme suksesi Presiden. Ia mengatakan bahwa ada dua mekanisme yang bisa ditempuh untuk menjalankan suksesi. Pertama, dengan mengubah sistem pemilu, dan kedua, dengan melakukan “Dialog Nasional”.

Amien adalah seorang yang taat hukum dan konstitusionalis. Ia sadar bahwa sistem pemilu yang berlaku di Indonesia saat itu tidak demokratis, dan harus dirubah. Dalam posisinya sebagai ketua PP Muhammadiyah ketika itu, tentu bukan dalam kapasitasnya untuk mengubah sistem pemilu karena bisa dicap sebagai tindakan yang melawan konstitusi. Oleh karena itu, sebagai orang yang taat hukum dan menekankan prinsip rule of law, ia berpendapat bahwa mekanisme suksesi yang pertama sangat sulit dilakukan karena hal tersebut berarti harus mengubah konstitusi.

Hal yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan, menurutnya, adalah dengan mengadakan “Dialog Nasional”. Inti dari Dialog Nasional adalah mengembalikan fungsi MPR kepada jalur yang benar yaitu sebagai wakil dari seluruh rakyat yang akan selalu mendengar apa aspirasi dari rakyat. Dikatakan “mengembalikan kepada jalur yang benar” karena selama rezim orde baru, praktis lembaga perwakilan ini mengalami disfungsi. Aspirasi masyarakat grass root tidak didengar, dan semua proses politik bersifat elitis. Karena itu, bisa dipahami bahwa kata-kata “dialog” yang dimaksud oleh Amien adalah sebuah diskusi publik antara anggota MPR dengan seluruh eksponen masyarakat dalam rangka mendengar aspirasi mereka yang selama ini terabaikan.

Lalu, bagaimana kaitan antara dialog dengan suksesi ? Logika Amien sebenarnya sederhana. Setelah MPR mendengar aspirasi riil dari masyarakat, maka MPR bisa menyusun sebuah agenda nasional yang berisi pokok-pokok permasalahan bangsa dan strategi untuk menanganinya. Selanjutnya, bisa dipersiapkan siapa kira-kira calon-calon pemimpin yang cocok dan mampu melaksanakan agenda tersebut dengan program-program yang baru dan segar. Dengan kata lain, dibutuhkan seorang pemimpin baru yang harus menggantikan Soeharto. Ini menjadi penting karena Soeharto telah berkuasa selama puluhan tahun ditengah perkembangan zaman yang semakin kompleks. Banyak program-program orde baru yang menurut Amien sudah tidak sesuai dengan zaman dan bisa dianggap “usang”. Karena itulah butuh penyegaran dan rotasi agar pemimpin yang selanjutnya bisa membawa Indonesia menjawab tantangan-tantangan baru.

Menarik untuk diketahui, nampaknya Amien sangat terinspirasi gaya pemilu Amerika Serikat yang mengadakan sebuah “debat antar calon presiden”, dimana publik bisa melihat kualitas masing-masing calon. Dalam pemikiran Amien, setelah calon-calon presiden dipersiapkan oleh masing-masing kekuatan sosial-politik di MPR (ABRI, Golkar, dan parpol), calon-calon tersebut perlu diuji kepiawaiannya di depan publik. Awalnya Amien menginginkan suatu debat publik antar calon presiden yang ditayangkan di televisi—seperti yang dilihatnya di Amerika Serikat. Namun, karena ketika itu suasananya masih sangat tabu untuk membicarakan pemimpin nasional, maka ia menyarankan dengan membuat semacam seminar, simposium, dan sejenisnya yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik tadi.

Perlu dipahami, dialog ini sejatinya bukan hanya semata-mata untuk mencari pemimpin baru, lalu selesai. Namun, disini terlihat ke-visioner-an seorang Amien Rais dimana ia memandang Dialog Nasional sebagai sarana untuk memecahkan permasalahan bangsa yang kian pelik. Menurutnya:

“Kita harus mampu membuat agenda yang konkret. Masalah-masalah yang besar bangsa ini sebenarnya apa. Kemudian dengan problematika yang jelas di masa depan, pemimpin nasional kemudian bisa dituntun ke arah mana ia bisa memimpin bangsa ini. Jadi bukan sekedar kekuasaan demi kekuasaan. Tetapi, kekuasaan demi pemecahan masalah-masalah bangsa”.

Akan tetapi, gagasan Dialog Nasional ini ternyata hanya menjadi khayalan belaka, karena gagasan ini tidak bisa terealisasi, dan hanya sebatas wacana. Namun, ternyata Amien Rais bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Gagasan “Dialog Nasional”-nya gagal, ia menjawab dengan gagasan lain, yaitu “Sarasehan Antargenerasi”. Inti dari sarasehan ini sama dengan Dialog Nasional, yaitu diskusi untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat. Setelah sarasehan ini dilakukan, maka hasilnya bisa diserahkan kepada MPR sebagai masukan untuk melakukan SU. Sayangnya, kegiatan ini pun tidak berjalan.

2.5 Mengapa Amien yang Menjadi Pionir ?
Pertanyaan menariknya adalah mengapa justru Amien lah yang menjadi pionir perubahan ? Padahal banyak tokoh lain yang menggelontorkan ide-ide perubahan. Jika dianalisa, setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan hal tersebut: Pertama, situasi orde baru yang sudah semakin keropos karena hantaman krisis ekonomi. Sebagaimana kita ketahui, faktor utama yang membuat langgengnya pemerintahan orde baru adalah ekonomi. Selama hampir 30 tahun lamanya kebebasan politik rakyat direnggut, tetapi kompensasinya adalah pertumbuhan ekonomi. Maka logikanya, jika sisi ekonomi orde baru mengalami masalah, tentunya rakyat akan kecewa karena tidak ada lagi kompensasi yang diberikan atas direnggutnya hak-hak politik mereka. Amien menggelontorkan ide suksesi ditengah keadaan yang seperti tadi, maka jadilah ia merupakan seorang tokoh yang sangat dipuja sebagai reformis kala itu.

Kedua, keberanian untuk bersuara lantang dan konsisten. Satu hal yang patut dicermati dari diri Amien adalah sikapnya yang sangat berani bersuara lantang. Sebagaimana telah disunggung sebelumnya, ide suksesi sebenarnya sudah ada sebelum Amien Rais menggelontorkannya pada Tanwir Muhammadiyah 1993. Akan tetapi, semua itu hanya “celetukan-celetukan” kecil yang mudah tersapu oleh kekuatan rezim. Rezim yang kuat perlu “pemberontakan” yang kuat pula, dan Amien melakukan itu melalui pemikiran dan keberaniannya bersuara lantang kepada pemerintah di ranah-ranah publik, seperti diskusi, seminar, media, dll. Keberanian ini muncul karena ia sangat teguh memegang prinsip amar ma’ruf nahi munkar, sehingga jika ia menemukan sebuah kedzaliman, apapun rintangannya, harus dicegah apapun resikonya. Pendapat ini diperkuat dengan perkataan seorang Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif dalam sebuah wawancara dengan wartawan Kompas. Wartawan bertanya: “Mengapa Amien Rais punya keberanian mengungkap itu (suksesi kepemimpinan) terus?”. Syafi’i Ma’arif menjawab dengan:
“Saya rasa (karena) ajaran Tauhid yang dipahaminya, doktrin amar ma’ruf nahi munkar yang dipahaminya. Itu landasan teologis dan filosofinya. Kalau kita benar-benar berpegang pada ajaran Tauhid dan amar ma’ruf nahi munkar, saya yakin akan muncul Amien Rais yang lain…”

Ketiga, posisinya sebagai ekstern pemerintahan. Sebagaimana diketahui, Amien adalah seorang tokoh Muhammadiyah dan sempat menjadi ketua PP Muhammadiyah tahun 1995-1998. Memang ketua PP Muhammadiyah selalu mendapat kursi di MPR, seperti A. R. Fachrudin, Ahmad Basyir, dll. Namun, tidak untuk Amien. Amien dengan tegas tidak bersedia untuk duduk di kursi MPR setelah pemilu 1997. Terkesan Amien sangat idealis, namun itulah yang menjadi poin plus baginya. Dengan berada di luar lingkup pemerintahan, Amien bisa dengan leluasa—walaupun tidak sepenuhnya—untuk bersuara lantang. Menkopolkam Sudomo langsung mendapat teguran keras dari pemerintah ketika menggulirkan ide tentang konsensus mengenai calon Presiden di SU MPR 1993 bisa lebih dari satu—yang akhirnya membuatnya harus meminta maaf kepada Presiden Soeharto. Apabila Amien merupakan intern pemerintahan, entah itu eksekutif ataupun legislatif, dapat dipastikan nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan Sudomo.

III. Kesimpulan


Sebagai seorang political scientist yang pro demokrasi, Amien dengan lantang mengkritik pemerintahan orde baru yang otoriter, represif, dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Nyatanya benar, di awal tahun 90-an, kebobrokan rezim orde baru mulai tampak ke permukaan, seperti suburnya korupsi, patronase, kemiskinan yang merajalela, penumpukan kekayaan para elit, pernguasaan sumber daya bangsa oleh pihak asing, dll.

Tidak hanya berhenti sampai megkritik saja, Amien pun juga mencetuskan gagasan yang menjadikan dirinya sebagai pionir dalam reformasi, yaitu suksesi kepemimpinan. Meskipun bukan sebuah gagasan yang baru, namun keberaniannya untuk menggelontorkan ide ini patut diacungi jempol, mengingat rezim saat itu sangat kuat dan represif.
Memang idenya tadi gagal direalisasikan, namun bukan berarti perjuangan Amien terhenti. Ia terus menggulirkan isu-isu pergantian kepemimpinan, sampai akhirnya Soeharto lengser dari posisinya setelah selama 32 tahun menguasai negri ini. Perubahan tersebut akhirnya telah mendorong Indonesia memasuki fase demokratisasi, terlebih ketika Amien dipercaya memimpin MPR di tahun 1999-2004.


Daftar Pustaka

Arie, Iman Karmawan, ed., 1999. Cikal Bakal Kepemimpinan Amien Rais: Legenda Reformasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Bahar, Ahmad, dan Taufik Alimi, ed., 1998. Amien Rais Berjuang Menuntut Perubahan. Yogyakarta: Pena Cendekia

Dewi, A. S., dan Lazuardi A. Sage. 2006. Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto. Jakarta: Jakarta Citra

Fatah, Eep Saefulloh. 2010. Konflik, Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru. Jakarta: Burungmerak Press

Hisyam, Muhammad, ed., 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Ikhsan, M., C. Manning, dan Hadi Soesastro, ed., 2002. 80 Tahun Mohammad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru, (Cet.1). Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Najib, Muhammad, dan Kuat Sukardiyono. 1998. Amien Rais Sang Demokrat. Jakarta: Gema Insani Press

____, ed., 1998. Suara Amien Rais Suara Rakyat. Jakarta: Gema Insani Press

Simanungkalit, Salomo, ed., 2002. Indonesia Dalam Krisis 1997 – 2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-Dosa Politik Orde Baru. Jakarta: Penerbit Djambatan

Jumat, 13 Januari 2012

Desentralisasi dan Tipologinya

Reformasi tahun 1998 sungguh telah membuat banyak perubahan di Indonesia. Gelombang demokratisasi yang telah memasuki Indonesai kala itu agaknya memiliki sumbangsih yang nyata terhdap dinamika perjalanan pemerintahan di Indonesia. Maraknya jumlah parpol, kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan sebagainya agaknya memiliki “hutang budi” terhdap reformasi, karena dari sanalah akhirnya “mereka” lahir di bumi Indonesia. Termasuk desentralisasi yang selama lebih dari 30 tahun harus nihil dari pemerintahan Indonesia. Tulisan review dari chapter berjudul “The Rise of Local Government: An Overview” yang ditulis oleh Pranab Bardhan dan Dilip Mookherjee ini sedikit banyak akan mengulas mengenai apa itu desentralisasi, juga membandingkan proses desentralisasi di beberapa negara untuk kemudian membuat suatu generalisasi mengenai tipologi desenralisasi.

Konsep Desentralisasi

Dalam arti politik, desentralisasi dapat dilihat sebagai salah satu elemen penting dari demokrasi partisipatoris yang memungkinkan masyarakat mendapatkan kesempatan untuk mengkomunikasikan preferensi dan pandangan mereka kepada pejabat pemerintah terpilih, yang kemudian para pejabat ini harus bertanggung jawab atas pekerjaannya kepada masyarakat. Dari pengertian ini, nampaknya Bardhan dan Mookherjee mendefinisikan desentralisasi sebagai hubungan dua arah, yaitu antara rakyat dengan pemerintah, yang dihasilkan dari adanya demokrasi partisipatoris. Rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pejabat pemerintah melalui pemilu, dan pejabat terpilih pun harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukannya kepada rakyat.

Lalu, pertanyaan kemudian yang akan muncul adalah apa sebenarnya tujuan dari desentralisasi ? Setidaknya Bardhan dan Mookherjee mengajukan tiga alasan mengapa desentralisasi yang berarti partisipasipatoris menjadi hal yang penting dari sudut pandang politik. Pertama, tentu memberikan otonomi kepada rakyat, kedua, meningkatkan keteraturan sosial dengan cara meningkatkan legitimasi negara, dan ketiga, meminimalisir gerakan separatis. Pun dengan sudut pandang ekonomi. Tujuan utama desentralisasi dari sudut pandang ekonomi adalah meningkatkan akuntabilitas dan responsifitas pemerintah dalam hal memberikan barang dan jasa kepada masyarakat.

Namun pada prakteknya, desentralisasi ternyata belum bisa berjalan dengan baik, karena ada beberapa faktor. Dari kesemua faktor itu, ada tiga faktor utama yang setidaknya menyebabkan mengapa desentralisasi umumnya belum bisa berjalan dengan baik: (1) ketidakmampuan paemilih untuk mengkomunikasikan preferensi mereka secara intensif (2) Kesadaran pemilih yang asimetris dengan kehadiran pemilih, dan ketidakmampuan parpol untuk memobilisasi pemilih (3) Lemahnya kelompok kepentingan yang bisa mempengaruhi proses kebijakan. Ketiga faktor inilah yang kiranya menjadi proritas utama mengapa desentralisasi—khususnya di Indonesia—belum bisa berjalan dengan baik.

Cara untuk bisa mengukur apakah desentralisasi sudah berjalan dengan baik atau belum dapat dilihat dari 3 dimensi, menurut Bardhan dan Mookherjee. Dimensi pertama adalah pengaruh atau implikasi dari program-program pemerintah. Dimensi ini bertujuan untuk mengukur tingkat akuntabilitas dan responsifitas dari pemerintah. Dimensi kedua adalah konteks. Dalam dimensi ini fokus utamanya adalah sejauh mana demokrasi lokal atau demokrasi di daerah bisa berjalan. Hal ini diukur dari pola partisipasi politik dari kelompok masyarakat yang berbeda. Dimensi ketiga adalah bentuk desentralisasi itu sendiri, yang dilihat berdasarkan: otoritas dari konstitusi, proses pemilu, sejauh mana kewenangan/tanggung jawab yang dilimpahkan kepada pemerintah lokal (termasuk dalam hal keuangan), otoritas dan kompetensi pejabat Pemnerintah Daerah, dan mekanisme pemberian informasi dari Pemda kepada masyarakat.

Perbandingan Bentuk Desentralisasi

Dalam bahan bacaan, Bardhan dan Mookherjee melakukan studi perbandingan terhadap beberapa negara yang telah mengalami proses desentralisasi, diantaranya Brazil, Indonesia, Bolivia, India, Uganda, Pakistan, Cina, dan Afrika Selatan. Berdasarkan hasil studinya di beberapa negara ini, Bardhan dan Mookherjee mencoba melakukan proses induksi untuk membuat tipologi bentuk desentralisasi . Namun, sebelumnya, mereka membuat semacam pengelompokkan terlebih dahulu terhadap negara-negara tadi yang memiliki ciri transisi desentralisasi serupa. Hasilnya, mereka mendapatkan tiga kelompok yang berbeda, yaitu kelompok pertama (dicirikan dengan sebuah transisi tunggal dari sistem sentralisasi menuju desentralisasi), kelompok kedua (dicirikan dengan adanya tarik ulur proses desentralisasi), dan kelompok ketiga (dicirikan dengan perubahan bentuk desentralisasinya saja).

Pada kelompok pertama, Bardhan dan Mookherjee membuat sub kelompok lagi karena dirasa ada perbedaan yang cukup signifikan, namun masih dalam satu koridor transisi dari sistem sentralisasi menuju desentralisasi, utamanya mengenai pengaruhnya terhadap proses demokratisasi di level nasional. Sub kelompok pertama adalah desentralisasi menjadi bagian dari adanya proses demokratisasi pada level nasional yang salah satunya berimbas pada munculnya desentralisasi. Termasuk dalam sub kelompok ini adalah Brazil dan Indonesia. Sub kelompok kedua adalah dimana desentralisasi muncul karena adanya kekecewaan terhadap sistem pemerintah yang tersentralisasi, dan umumnya dipicu oleh adanya konflik politik, dengan demokratisasi yang tetap berjalan di level nasional.Sub kategori ini mencakup India dan Bolivia. Sub kelompok ketiga adalah Uganda, dimana sebenarnya tidak terjadi proses demokratisasi disana, dan desentralisasi hanya bertujuan untuk menkonsolidasikan kekuatan pemerintahan junta militer.

Kelompok kedua adalah negara-negara yang memiliki dinamika “tarik ulur” dalam proses desentralisasinya. Maksudnya adalah, pada waktu tertentu banyak kewenangan yang diberikan ke daerah (pemerintah lokal), namun pada waktu yang lain kewenangan-kewenangan tersebut dipangkas atau dikurangi. Tarik ulur tersebut umumnya dipengaruhi oleh konteks politik nasional yang bisa berbentuk antara deomkrasi hingga diktator. Pengelompokkan ini didasarkan atas pengamatan Bardhan dan Mookherjee terhdap dua negara, yaitu Pakistan dan Cina. Menurut mereka, kedua negara ini memiliki bentuk desentralisasi yang sama, yaitu “tarik ulur” kewenangan yang diberikan, tergantung dari konteks politk nasional—di Pakistan, dan pengalokasian insentif ekonomi—di Cina.

Kelompok ketiga adalah negara yang sebenarnya tidak mengalami bentuk perubahan dari yang tadinya sentralisasi menuju desentralisasi. Dalam kelompok ini, hanya bentuk desentralisasinya saja yang berubah, dan tidak berarti bahwa sistem sebelumnya tersentralisasi. Mudahnya sebelum dan seseudah transisi sama-sama bersistem desentralisasi, hanya bentuknya saja yang berubah dalam transisi itu. Contoh negara yang termasuk dalam kelompok ini adalah Afrika Selatan.

Pelru diapahami bahwa pengelompokkan yang dilakukan oleh Bardhan dan Mookherjee hanya melihat aspek transisi desentralisasinya saja, belum mencakup aspek yang lebih dalam misalnya penyebab desentralisasi secara lebih mendetail, besarnya lingkup desentrailisasi, dan apakah proses tersebut terjadi secara tiba-tiba atau gradual. Karena itu, lebih lanjut Bardhan dan Mookherjee menganalisa hal-hal tadi, dan kemudian sebagai tahap akhirnya membuat tipologi-tipologi desentralisasi berdasarkan konteks sosio-historis yang melatarbelakangi munculnya desentralisasi tersebut.

Tipologi Desentralisasi

Sebelum membuat tipologi berdasarkan konteks sosio-historis tadi, terlebih dahulu Bardhan dan Mookherjee mencoba menganalisa penyebab munculnya desentralisasi yang terjadi di masing-masing negara. Berdasarkan data yang mereka peroleh, faktor utama penyebab munculnya desentralisasi adalah pemberontakan terhadap rezim lama (incumbent) pada level nasional. Dari semua negara yang mereka teliti, faktor inilah yang menjadi meyoritas munculnya desentralisasi, pengecualian hanya di Cina dan Afrika Selatan. Alasan lainnya adalah karena adanya demokratisasi pada politik nasional, sehingga menyebabkan desentralisasi merupakan salah satu hasilnya; dan terakhir karena adanya faktor eksternal seperti krisis, tekanan pihak asing, dan faktor lain yang datangnya dari luar negara yang bersangkutan.

Selain penyebab, Bardhan dan Mookherjee juga menganalisa dari sudut pandang lain, yaitu proses terjadinya desentralisasi, apakah terjadi secara gradual (berangsur-angsur) atau secara tiba-tiba. Juga terakhir melihat dari sudut pandang besarnya kewenangan ekonomi yang diberikan dari pusat ke daerah. Dari sudut pandang proses terjadinya, mayoritas terjadi secara berangsur-angsur. Pun dalam sudut pandang kewenangan ekonomi, mayoritas hanya sebagian kecil kewenangan keuangan (finansial) yang dilimpahkan ke daerah.

Atas dasar ketiga hal tadi—penyebab desentralisasi, proses terjadinya desentralisasi, dan kewenangan ekonomi yang dilimpahkan—sebagai tahap akhir, Bardhan dan Mookherjee membuat 3 tipologi desentralisasi berdasarkan konteks sosio historisnya. Ketiga tipologi tersebut adalah : (1) Tipe A (“big bang decentralization”/desentralisasi yang sangat besar, komprehensif, dan dibarengi dengan pelimpahan kewenangan ekonomi juga politik), (2) Tipe B (Pelimpahan kewenangan politik secara komprehensif, namun parsial dalam pelimpahan ekonomi), (3) Tipei C (Pelimpahan kewenangan politik yang terbatas dengan pelimpahan kewenangan ekonomi yang cukup besar).

Desentralisasi tipe A mencakup desentralisasi yang terjadi di Indonesia, Bolivia. Proses desentralisasi yang terjadi di negara-negara ini disebut sebagai “big bang decentralization” atau yang dapat diartikan sebagai “desentralisasi besar-besaran”. Penyebab utama desentralisasi besar-besaran ini adalah adanya kekecewaan terhadap rezim lama yang tersentralisasi, dibarengi dengan tidak meratanya alokasi anggaran dan pennyejahteraan pemerintah kepada daerah-daerah. Hanya saja motifnya yang berbeda. Di Bolivia, diprakarsai oleh NRM, dan Indonesia didasari oleh adanya reformasi yang sejayinys adalah proses demokratisasi. Dalam hal kewenangan yang diberikan pun sangat besar di kedua negara ini, keduanya mencakup kewenangan politik dan ekonomi secara luas dan komprehensif.

Desentralisasi tipe B ditandai dengan adanya pelimpahan kewenangan secara luas dalam hal politi, namun terbatas dalam hal ekonomi. Contoh negara yang masuk dalam tipe ini adalah Brazil dan India. Karakteristik demokrasi sangat kental di kedua negara ini, dimana keduanya memiliki heterogenitas penduduk yang tinggi dan kesenjangan yang cukup lebar. Pelimpahan kewenangan politik dari pemerintah pusat kepada daerah di kedua negara ini sangat besar, ditandai dengan adanya pemilu langsung untuk memilih pemerintah lokal, dimana pertarungan antar partai sangat kental di dalamnya. Juga pemerintah daerah memiliki otoritas untuk membuat peraturannya sendiri.

Desentralisasi tipe C agaknya tidak berhubungan dengan demokrasi seperti yang nampak pada tipe A dan tipe B. Dalam tipe C, desentralisasi hanya sebagai alat atau instrumen untuk menkonsolidasikan dan meligitimasi kekuatan politik pada level nasional. Dari pengertian ini, kita bisa membuat justifikasi bahwa sebenarnya tujuan desentralisasi bukanlah keinginan untuk demokratisasi, namun lebih kepada penumpukkan kekuasan. Negara yang termasuk dalam tipe ini adalah Cina, Pakistan, dan Uganda. Ciri utama dari desentralisasi tipe ini adalah pemerintah lokal hanya merupakan subordinat atau kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, tidak memiliki hak—atau memiliki tapi sangat terbatas—untuk membuat peraturan sendiri (semacam Peraturan Daerah di Indonesia), dan mekanisme pemilihan pejabat pemrintahan yang tidak sepenuhnya dilakukan dengan pemilihan umum. Meskipun begitu, dalam hal ekonomi, kewenangan yang dilimpahkan dari pemerintah pusat ke daerah cukup besar, berbeda dengan tipe B. Jadi dalam tipe ini, kewenangan politik yang diberikan sangat terbatas, namun pelimpahan kewenangan ekonomi cukup besar dari pusat ke daerah.

Lalu yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa sebenarnya yang membuat pemerintah pusat “rela” memberikan atau melimpahkan sebagian wewenangnya kepada pemerintah lokal ? Bardhan dan Mookherjee menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang cukup beragam, tergantung dari motif dibalik terjadinya desentralisasi tersebut. Jawaban pertama adalah karena adanya gelombang demokratisasi di level nasional, sehingga agenda desentralisasi merupakan salah satu implikasi logis dari proses tadi. Ini dialami oleh Indonesia, Brazil dan Afrika Selatan. Jawaban kedua adalah karena rezim yang sedang berkuasa menghadapi tantangan dari meningkatnya kekuatan lokal dan partai politik. Kedua agen tersebut memanfaatkan momen kekecewaan terhadap ke-sentralisasi-an pemerintah untuk kemudian mencetuskan perubahan. Ini terjadi di Bolivia dan India. Jawaban ketiga adalah karena pemrintah pusat ingin mengkonsolidasikan kekuasaannya di itngkat lokal. Ini terjadi di negara-negara yang tergolong tipe C, yaitu Cina, Pakistan, dan Uganda.

Demikianlah ulasan singkat mengenai desentralisasi serta bentuk/tipe-tipe desentralisasi yang dibuat oleh Pranab Bardhan dan Dilip Mookherjee. Tesis utama dari hasil penelitian mereka adalah desentralisasi memiliki tiga tipe yang dilihat dari sudut pandang kewenangan yang diberikan, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C.Hasil studinya terhadap beberapa negara di dunia ini telah memberi sumbangsih yang cukup berharga bagi perkembangan teori desentralisasi.